Pages

Jumat, 15 Mei 2015

STUDI KITAB TAFSIR AL-AZHAR (KARYA HAMKA)
Mengulas Tentang Penulis Kitab, Latar Belakang Penulisan Kitab, dan Sebagainya

Writed By:
ABDULLAH ZAHIR

A.      Biografi Hamka
1.      Riwayat Hidup Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), lahir di sungai Batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Ahad, tanggal 16 Februari 1908 M./13 Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau – sering disebut - Haji Rasul bin Syekh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdullah Saleh.[1]
Kehadirannya sebagai anak laki-laki pertama membuat sang ayah memendam hasrat agar kelak anaknya meneruskan tradisi ketokohan dan keulamaan dalam keluarga. “Sepuluh tahun dia akan di kirim belajar ke Makkah supaya kelak dia menjadi orang alim pula seperti aku, seperti neneknya, dan seperti nenek-neneknya yang dahulu”, demikian yang dikatakan sang ayah pada hari kelahiran Hamka.[2]
Ketika berusia empat tahun (1912), perawatan Hamka diserahkan kepada neneknya, karena ibu dan kakak perempuannya hijrah ke Padang mengikuti sang ayah merintis karir di tempat tersebut.[3] Pada tahun 1914, Hamka telah mengawali pendidikannya dengan membaca dan mempelajari Alquran di rumah orang tuanya sewaktu mereka sekeluarga pindah dari Maninjau ke Padang Panjang.[4]
Pendidikan formal mulai Ia jalani di Sekolah Desa, ketika dia berusia delapan tahun (1916). Oleh ayahnya dia juga dimasukkan ke Sekolah Diniyah, yang didirikan oleh Zainuddin Lebay el-Yunusi. Hamka belajar di Sekolah Desa pada pagi hari, sedangkan di Sekolah Diniyah pada sore hari. Ternyata pendidikannya di Sekolah Desa hanya berlangsung dua tahun, karena ayahnya mengeluarkannya dan lebih mengarahkannya ke pendidikan agama untuk mewujudkan ambisinya menjadikan Hamka kecil (yang ketika itu berumur 10 tahun (1918)) kelak bisa menjadi seorang ulama besar. Hamka lalu dimasukkan ke Madrasah Tawalib, Madrasah yang embrionya adalah surau tempat ayahnya mengajar. Jadi Hamka tetap menjalani dua lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Diniyah, yang jam belajarnya beralih ke pagi hari, dan Madrasah Tawalib pada sore hari. Menurut penuturan Hamka, pelajaran-pelajaran yang diberikan di dua lembaga pendidikan itu tidak ada yang menarik hatinya, kecuali pelajaran ‘Arudl, timbangan syair Arab. Hal ini rupanya merupakan manifestasi dari kecenderungan jiwanya kepada dunia sastra dan kepujanggaan.[5]
Pendidikan formal Hamka hanya sampai Sekolah Rakyat, tetapi pada dasarnya ia memang seorang anak yang cerdas, sehingga mampu belajar otodidak. Dalam bidang ilmu-ilmu keislaman, beliau pertama kali belajar kepada ayahandanya sendiri, Dr. Abdul Karim Amrullah dan diteruskan kepada beberapa ulama di daerahnya, yang ikut dengan ayahnya mendirikan lembaga pendidikan Sumatera Tawalib yang didahului dengan pendirian Surau Jembatan Besi.[6]
Hamka mengalami situasi krisis yang pertama dalam kehidupannya pada waktu dia berusia 12 tahun (1920), ketika harus menerima kenyataan pahit perceraian antara ayah dan ibunya. Dia merasa sakit hati dengan peristiwa itu dan kehilangan arah. Ia meninggalkan kewajiban belajarnya dan berkeliaran serta bergaul dengan orang-orang parewa (preman). Pendek kata ia menjadi anak yang nakal, susah diatur. Usaha sang ayah untuk meredam kenakalannya dengan cara mengirimnya mengaji kepada Syekh Ibrahim Musa di Parabek tidak membawa hasil, dan beberapa bulan kemudian dia (Hamka), yang saat itu berusia 14 tahun, dipulangkan kembali ke Padang Panjang.[7]
Pada tahun 1924, Hamka berkunjung ke tanah Jawa selama kurang lebih satu tahun, yang menurut Hamka sendiri telah mampu memberikan semangat baru baginya untuk mempelajari Islam. Rantau pengembara pencarian ilmu dari tanah jawa itu, ia mulai dari kota Yogyakarta, kota tempat Ormas Muhammadiyah lahir. Melalui pamannya, Ja’far Amrullah ia mendapat kesempatan mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan Muhammadiyah dan Syarikat Islam. Dalam kesempatan ini, Hamka bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo, di mana Hamka mendapatkan pelajaran tafsir Alquran darinya.[8] Selain itu pula ia tertarik kepada seorang tokoh pergerakan Islam di Surabaya, Haji Umar Said Cokroaminoto (HOS Cokroaminoto), ketua Umum Partai Sarekat Islam Indonesia. Kepada tokoh inilah Hamka, sebagaimana tokoh-tokoh Indonesia lainnya, Ia belajar masalah politik dan kenegaraan serta perjuangan kemerdekaan.[9]
Dalam pengalamanya belajar tafsir saat ia berumur 16 tahun (1924) kepada Ki Bagus Hadikusuma, untuk pertama kali ia memperoleh metode baru mempelajari tafsir, yaitu mementingkan maksud/kandungan ayat Al-quran, bukan membaca matan tafsir dengan nahwu yang tepat, seperti yang dijalaninya di Padang Panjang. Dan dari HOS Cokroaminoto ia belajar hal banyak tentang Islam dan sosialisme serta Nasionalisme dan menunjukkanya jalan dalam mengkhidmat bangsa. Kemudian ia juga belajar dari R. M. Suryopranoto dan H. Fakhruddin mengenai sosiologi dan agama Islam,[10]juga Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung, dan terutama A.R. Sutan Mansur.[11]
Selama di Yogyakarta, ia sangat beruntung bisa berkenalan dan sering melakukan diskusi dengan teman-teman seusianya yang memiliki wawasan luas dan cendekia. Mereka antara lain adalah Muhammad Natsir. Di sini, ia mulai berkenalan dengan ide pembaruan gerakan SI (Sarikat Islam) dan Muhammadiyah yang dipimpin A.R. St. Mansur. Ide-ide modernisasi yang dihembuskan para pemikir muslim waktu itu telah banyak mempengaruhi pembentukan atmosfer pemikirannya tentang Islam sebagai suatu ajaran yang “hidup”, inklusif, dan dinamis.[12] Di sini, ia melihat perbedaan yang demikian kentara antara Islam yang hidup di Minangkabau (statis, tradisional, dan terseret pertiakain khilafiah) dengan Islam yang hidup di Yogyakarta (dinamis, modern, dan memusatkan diri pada perjuangan untuk memajukan kaum muslim dari keterbelakangan dan ketertindasan).
Tiga tahun kemudian (1927), ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menjadi koresponden pada harian “Pelita Andalas di Medan. Sekembalinya dari Mekkah, ia tidak langsung pulang ke Minangkabau, akan tetapi singgah di Medan untuk beberapa waktu lamanya. Di Medan, ia banyak menulis artikel dipelbagai majalah waktu itu, seperti majalah “Seruan Islam” di Tanjung Pura, pembantu redaksi “Bintang Islam” dan “Suara Muhammadiyah” di Yogyakarta. Atas desakan iparnya, A.R. St. Mansur, ia kemudian diajak pulang ke Padang Panjang untuk menemui ayahnya yang demikian merindukan dirinya. Sesampainya di Padang Panjang, ia kemudian dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan (anak mamaknya) pada tanggal 5 April 1929. Perkawinannya dengan Siti Raham berjalan harmonis dan bahagia. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikarunia 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam (meninggal usia 5 tahun), Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, ‘Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Hamka menikah lagi dengan Siti Chadijah 6 tahun kemudian setelah istrinya Hj. Siti Raham Rasul meninggal pada tahun 1971.[13]
Jabatan atau amanah yang pernah diemban Hamka selama hidupnya antara lain sebagai berikut: pada tahun 1943, menjabat sebagai konsul Muhammadiyah Sumatera Timur. Tahun 1947, sebagai Ketua Front Pertahanan Nasional (FPN). Tahun 1948, sebagai Ketua Sekretariat bersama Badan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK). Lalu, tahun 1950, Hamka menjadi Pegawai Negeri pada Departemen Agama RI di Jakarta. Tahun 1955-1957, Hamka terpilih menjadi Anggota Konstituante Republik Indonesia. Mulai tahun 1960, Hamka dipercaya sebagai Pengurus Pusat Muhammadiyah. Pada tahun 1968, Hamka ditunjuk sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Prof. Moestopo Beragama. Tahun 1975-1979 Hamka dipercaya oleh para ulama sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di tahun yang bersamaaan, Hamka juga menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Pesantren Islam al-Azhar selama dua periode.[14]
Hamka meninggal dunia pada hari jum’at, 24 Juli 1981. Beliau dikebumikan di TPU Tanah Kusir dengan meninggalkan 10 orang anak – 7 laki-laki dan 3 perempuan. Dari kesepuluh anak-anak tersebut, saat ini jumlah cucu Hamka ada 31 orang dan cicit sebanyak 44 orang. Ia mendapat Bintang Mahaputera Madya dari Pemerintah RI di tahun 1986. Dan, terakhir di tahun 2011, ia mendapatkan penghormatan dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional.[15]
2.      Karya-karya Hamka
Sebagai seorang yang berpikiran maju, tidak hanya ia lakukan dengan di mimbar melalui berbagai macam ceramah agama. Ia juga merefleksikan kemerdekaan berpikirnya melalui berbagai macam karyanya dalam bentuk tulisan. Orientasi pemikirannya meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, tasawuf, filsafat, pemikiran pendidikan Islam, sejarah Islam, fiqih, sastra, dan tafsir. Bahkan, meskipun dalam waktu relatif singkat ia juga pernah terlibat dalam politik praktis.[16] Tulisan (artikel dan buku) Hamka yang telah dipublikasikan sekitar 118 karya.[17] Di antara karya-karyanya sejauh temuan penulis sebagai berikut:
a.       Dalam bidang keagamaan:
1)      Tasawuf modern, pada awalnya merupakan kumpulan artikel yang dimuat dalam Pedoman Masyarakat. Karena tuntutan masyarakat kemudian artikel tersebut dibukukan pada tahun 1939 dan sampai tahun 1987 – sedikitnya – telah mengalami 16 kali cetak ulang.  Dalam buku tersebut Hamka mencoba membahasakan Tasawuf melalui “bahasa bumi” yang mudah dipahami oleh masyarakat umum.[18]
2)      Falsafah hidup, pertama kali diterbitkan pada tahun 1940. Ia memulai buku ini dengan memaparkan hidup dan makna kehidupan.
3)      Lembaga Budi (1939)
4)      Pelajaran Agama Islam (1956)
5)      Agama dan Perempuan (1939)
6)      Sejarah Umat Islam jilid I-IV (1951)
b.      Dalam bidang sastra :
1)      Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936)
2)      Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937)
3)      Tuan Direktur (1939)
4)      Dijemput Mamaknya (1939)
5)      Keadilan Ilahi (1939)
6)      Merantau Ke Deli (1940)
7)      Margaretta Gauthiur (1940)[19]
c.       Dalam bidang politik Hamka menulis beberapa karyanya, yang semuanya diterbitkan bersamaan di tahun 1946:
1)      Islam dan Demokrasi
2)      Negara Islam
3)      Revolusi Pikiran
4)      Revolusi Agama
Dan terakhir yang merupakan salah satu karya monumental Hamka dalam bidang tafsir yakni Tafsir Al-Azhar Juz I-XXX. Buku ini mulai ditulis pada tahun 1962. Sebagian besar isi tafsir ini diselesaikannya di dalam penjara, ketika ia menjadi tahanan antara tahun 1964-1967. Buku ini pertama kali dicetak pada tahun 1979 dan mengalami beberapa kali cetak ulang bukan hanya di Indonesia, akan tetapi juga di Singapura. Kupasan materi pada tafsir ini pada awalnya merupakan kumpulan ceramahnya pada kuliah subuh yang dilakukannya di Masjid Agung al-Azhar Kebayoran Baru antara rentang waktu 1958-1960.[20]


B.       Kitab Tafsir al-Azhar
1.      Penamaan Kitab
Nama Tafsir al-Azhar yang digunakan oleh Hamka untuk karya kitab tafsirnya berawal dari usulan Haji Yusuf, salah seorang tata usaha majalah tengah bulanan Gema Islam di Masjid al-Azhar. Usulun tersebut berupa permintaan penamaan terhadap rubrik rutinan yang memuat semua pelajaran tafsir Alquran yang disampaikan oleh Hamka setiap usai shalat subuh sejak tahun 1959. Kemudian atas usulan tersebut Hamka menamai rubrik tafsirnya dengan Tafsir al-Azhar seperti pernyataanya: “langsung saya berikan namanya baginya Tafsir al-Azhar, sebab “tafsir” ini timbul di dalam Masjid Agung al-Azhar, …, sebagai simbol terima kasih saya atas penghargaan yang diberikan oleh al-Azhar kepada diri saya”.[21] Penghargaan yang dimaksud adalah anugerah gelar Doctor Honoris Causa (Dr. H.C.) dari Universitas Al-Azhar Kairo,tanggal 19 Oktober 1960.
2.      Latar Belakang Penulisan
Proses penulisan Tafsir al-Azhar sebenarnya sudah dimulai sejak pertama kali pemuatannya dalam majalah tengah bulanan Gema Islam, yaitu mulai terbitan nomer 2, tanggal 1 Februari 1962. Setelah berjalan dua tahun, penulisan dan pemuatannya dalam Gema Islam telah mencapai satu setengah juz Alquran, yaitu mulai juz XVIII (surat al-Mu’minu>n/23) sampai pertengahan juz XIX (pertengahan surat as-Syu’ara>/26). Kegiatan penulisan ini harus terhenti, karena terjadi suatu peristiwa yang amat penting dalam kehidupan Hamka, yaitu ditangkap oleh dan menjadi tahanan politik rezim Orde Lama.[22]
Dalam muqaddimah kitab tafsirnya ia menjelaskan beberapa tuduhan yang dialamatkan kepadanya: pertama, ia dituduh mengadakan rapat gelap di Tanggerang pada tanggal 11 Oktober 1963 yang bermaksud untuk membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri, bersekongkol dengan Perdana Menteri Malaysia, Tangku Abdul Rahman Putera. Kedua, ia dituduh menghasut mahasiswa agar meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureueh, M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, ketika ia mengisi perkuliahan di IAIN Ciputat. Ketiga, ia dituduh melakukan kontak dengan kaki-tangan Tengku Abdul Rahman di Pontianak ketika ia mengadakan perjalanan ke Pontianak awal September 1963.[23]
Terlepas dari segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya pada saat itu. Hamka mencoba mengambil hikmah dan bersabar dengan apa yang dialaminya dengan berkaca kepada pengalaman beberapa tokoh Islam seperti Ibnu Taimiyah yang dipenjarakan oleh musuh-musuhnya. Akan tetapi, ia tetap sabar dan menganggap apa yang dialaminya sebagai sebuah sarana baginya untuk berkhalwat; serta menjadikan hal tersebut sebagai nikmat dari Allah Swt karena dengan itu ia tidak termasuk dalam golongan tukang fitnah dan golongan orang-orang yang zalim.[24]
Dalam perjalanannya yang harus mendekam dibalik jeruji besi tersebut ia bertekad untuk menyelesaikan karya tafsirnya yang sempat tertunda ketika itu. Karena menurutnya jika ia masih di luar, mungkin pekerjaannya dalam menafsirkan Alquran tidak mungkin selesai. Maka dalam kurun waktu 2 tahun ia pergunakan sebaik-baiknya sehingga beberapa hari sebelum ia dipindahkan ke dalam tahanan rumah, ia mampu menyelesaikan penafsirannya 30 Juz.; dan semasa dalam tahanan rumah dua bulan lebih ia pergunakan pula buat menyempurnakan kekurangan dalam tafsirnya.[25] Menurut Rusydi, proses perbaikan dan penyempunaan Tafsir al-Azhar terus berlanjut selama 12 tahun (1966-1978), dan naskah terakhir yang direvisinya adalah juz XIX.[26]
Kurun waktu dalam penulisan Tafsir al-Azhar, jika disimpulkan dari awal penulisan hingga revisi terakhir, memakan waktu yang cukup panjang yaitu 16 tahun (1962-1978). Jika kegiatan penafsirannya sendiri yang dijadikan acuan, maka riwayat tersebut lebih panjang lagi, yaitu dimulai sejak akhir 1959 saat dimulainya kegiatan kuliah subuh tafsir Alquran yang diasuh sendiri oleh Hamka.
Dengan karya tafsirnya tersebut, Hamka berharap semoga orang-orang dapat mengingatnya sebagai suatu hasil khidmat untuk Tuhan dan umat, yang dapat ia kerjakan semasa ia teraniaya; dan harapan ketika ia sudah meninggal dunia dan orang-orang yang menganiayanya juga demikian maka karyanya masih dibaca dan ditelaah oleh orang-orang setelahnya.[27]
3.      Sistematika Penulisan
Dalam penulisan suatu karya tafsir, dikenal sistematika penulisan atau penyusunan kitab tafsir. Perlu diketahui bahwa sistematika penyusunan kitab tafsir ada 3 macam yang dikenal dikalangan para ahli tafsir: tarti>b mus}h}afi> (urutan ayat dan surat), tarti>b nuzu<li (urutan kronologi turunnya surat-surat), dan tarti>b maudu>i (urutan sesuai tema).[28]
Hamka dalam penulisan kitab tafsirnya memulai dengan surat al-Fa>tih}ah dan diakhiri dengan surat an-Na>s, dengan demikian ia memakai tarti>b mus}h}afi>, yaitu dalam menafsirkan ayat Alquran sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf. Penafsir lain yang juga menggunakan sistematika ini di Indonesia, seperti: Tafsir al-Misbah (karya Quraish Shihab).
4.      Metode Penulisan
Secara umum dikenal empat macam metode penafsiran dengan aneka macam hidangannya, yaitu: pertama, metode tahli>li>, yakni metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufassir-nya yang dihidangkan secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam Mushaf. Kedua, metode ijma<l>i, yakni metode ini hanya menguraikan makna-makna umum yang dikandung oleh ayat yang ditafsirkan, namun sang mufassir diharapkan dapat menghidangkan makna-makna dalam bingkai suasana Qur’ani. Ketiga, metode muqari<n, yakni perbedaan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat yang sama. Keempat, metode maud}u>i, yakni metode yang mengarahkan pendangan kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan Alquran tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan tema tersebut.[29]
Dalam kitab tafsirnya Hamka memberikan ulasan mengenai isi penafsiran dalam kitabnya. Ia menerangkan bahwa dalam tafsirnya ia memelihara sebaik-baiknya hubungan di antara naql dengan aql. Di antara riwa>yah dengan dira>yah. Ia tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat orang yang telah terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan dan pengalaman sendiri. Dan tidak pula semata-mata menuruti pertimbangan akal sendiri, seraya melalaikan apa yang dinukil dari orang yang terdahulu, berarti hanya suatu “textbook thinking”. Sebaliknya kalau hanya memperturutkan akal sendiri, besar bahayanya akan terpesona keluar dari garis tertentu yang digariskan agama, sehingga dengan tidak disadari boleh jadi menjauh dari maksud agama.[30]
Dengan melihat penjelasan Hamka yang sedemikian rupa dapat dipahami bahwa ia mencoba memahami kandungan ayat Alquran dengan sebaik mungkin mengacu kepada berbagai dalil naqli> dan aqli> yang dibutuhkan serta keterangan mengenai ayat atau surat yang ditafsirkan dan juga memasukkan pendapatnya sendiri dalam menafsirkan ayat tersebut. Seperti contoh dalam menafsirkan surat al-Fa>tih}ah, ia menuliskan asba>bu an-nuzu>l, riwayat-riwayat naqli>, pendapat-pendapat ulama, kemudian ia juga ikut menuliskan pendapatnya dalam penafsiran surat tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hamka dalam penafsirannya menggunakan manha>j tahli>li.



[1] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual, hlm. 15-16.
[2] Mukhlis, Inklusifisme al-Azhar (Mataram: IAIN Mataram Press, 2004), hlm. 34.
[3] Mukhlis, Inklusifisme al-Azhar, hlm. 34.
[4] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 36.
[5] Mukhlis, Inklusifisme al-Azhar, hlm. 34-35.
[6] M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009), hlm. 334.
[7] Mukhlis, Inklusifisme al-Azhar, hlm. 35.
[8] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, hlm. 39.
[9] M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, hlm. 334.
[10] Mukhlis, Inklusifisme al-Azhar, hlm.36.
[11] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual, hlm. 24.
[12] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual, hlm. 25-27.
[13] Irfan Hamka, Ayah : Kisah Buya Hamka (Jakarta: Republika, 2014), hlm. 289.
[14] Irfan Hamka, Ayah : Kisah Buya Hamka, hlm. 290.
[15] Irfan Hamka, Ayah : Kisah Buya Hamka, hlm. 290-291.
[16] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual, hlm. 46.
[17] Irfan Hamka, Ayah : Kisah Buya Hamka, hlm. 290.
[18] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual, hlm. 47.
[19] Yayasan Nurul Islam, Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka (Jakarta: Panjimas, 1978), hlm. 286.
[20] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual, hlm. 50.
[21] Mukhlis, Inklusifisme al-Azhar, hlm. 46.
[22] Mukhlis, Inklusifisme al-Azhar, hlm. 46-47.
[23] Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm 50-51.
[24] Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, hlm. 55.
[25] Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, hlm. 53.
[26] Mukhlis, Inklusifisme al-Azhar, hlm. 50.
[27] Hamka, Tafsir al-Azhar  Juz I, hlm. 54.
[28] Ahmad Baidhawi, Studi Kitab Tafsir : Klasik-Tengah (Yogyakarta: TH Press, 2010), hlm. 107.
[29] Quraish Shihab, Kaidah Tafsir : Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat Alquran (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 378.
[30] Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, hlm 40.

0 komentar:

Posting Komentar