STUDI KITAB TAFSIR AL-AZHAR (KARYA HAMKA)
Mengulas Tentang Penulis Kitab, Latar Belakang Penulisan Kitab, dan Sebagainya
Writed By:
ABDULLAH ZAHIR
A.
Biografi Hamka
1.
Riwayat Hidup Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), lahir
di sungai Batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Ahad, tanggal 16 Februari
1908 M./13 Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang taat beragama. Ayahnya
adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau – sering disebut - Haji Rasul bin Syekh
Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdullah Saleh.[1]
Kehadirannya sebagai anak laki-laki
pertama membuat sang ayah memendam hasrat agar kelak anaknya meneruskan tradisi
ketokohan dan keulamaan dalam keluarga. “Sepuluh tahun dia akan di kirim
belajar ke Makkah supaya kelak dia menjadi orang alim pula seperti aku, seperti
neneknya, dan seperti nenek-neneknya yang dahulu”, demikian yang dikatakan sang
ayah pada hari kelahiran Hamka.[2]
Ketika berusia empat tahun (1912),
perawatan Hamka diserahkan kepada neneknya, karena ibu dan kakak perempuannya
hijrah ke Padang mengikuti sang ayah merintis karir di tempat tersebut.[3] Pada tahun 1914, Hamka
telah mengawali pendidikannya dengan membaca dan mempelajari Alquran di rumah
orang tuanya sewaktu mereka sekeluarga pindah dari Maninjau ke Padang Panjang.[4]
Pendidikan formal mulai Ia jalani di Sekolah Desa, ketika dia berusia delapan tahun (1916). Oleh
ayahnya dia juga dimasukkan ke Sekolah Diniyah, yang didirikan oleh Zainuddin
Lebay el-Yunusi. Hamka belajar di Sekolah Desa pada pagi hari, sedangkan di
Sekolah Diniyah pada sore hari. Ternyata pendidikannya di Sekolah Desa
hanya berlangsung dua tahun, karena ayahnya mengeluarkannya dan lebih
mengarahkannya ke pendidikan agama untuk mewujudkan ambisinya menjadikan Hamka kecil (yang ketika itu berumur 10
tahun (1918)) kelak bisa menjadi seorang ulama
besar. Hamka lalu dimasukkan ke Madrasah Tawalib, Madrasah yang embrionya
adalah surau tempat ayahnya mengajar. Jadi Hamka tetap menjalani dua lembaga
pendidikan, yaitu Sekolah Diniyah, yang jam belajarnya beralih ke pagi hari,
dan Madrasah Tawalib pada sore hari. Menurut penuturan Hamka, pelajaran-pelajaran
yang diberikan
di dua lembaga pendidikan itu tidak ada yang menarik hatinya, kecuali pelajaran
‘Arudl, timbangan syair Arab. Hal ini rupanya merupakan manifestasi dari
kecenderungan jiwanya kepada dunia sastra dan kepujanggaan.[5]
Pendidikan formal Hamka hanya sampai
Sekolah Rakyat, tetapi pada dasarnya ia memang
seorang anak yang cerdas, sehingga mampu belajar otodidak. Dalam bidang
ilmu-ilmu keislaman, beliau pertama kali belajar kepada ayahandanya sendiri, Dr.
Abdul Karim Amrullah dan diteruskan kepada beberapa ulama di daerahnya, yang
ikut dengan ayahnya mendirikan lembaga pendidikan Sumatera Tawalib yang
didahului dengan pendirian Surau Jembatan Besi.[6]
Hamka mengalami situasi krisis yang
pertama dalam kehidupannya pada waktu dia berusia 12 tahun (1920), ketika harus
menerima kenyataan pahit perceraian antara ayah dan ibunya. Dia merasa sakit
hati dengan peristiwa itu dan kehilangan arah. Ia meninggalkan kewajiban
belajarnya dan berkeliaran serta bergaul dengan orang-orang parewa (preman).
Pendek kata ia menjadi anak yang nakal, susah diatur. Usaha sang ayah untuk
meredam kenakalannya dengan cara mengirimnya
mengaji kepada Syekh Ibrahim Musa di Parabek tidak membawa hasil, dan beberapa
bulan kemudian dia (Hamka), yang saat itu
berusia 14 tahun, dipulangkan kembali ke Padang Panjang.[7]
Pada tahun 1924, Hamka berkunjung ke
tanah Jawa selama kurang lebih satu tahun, yang menurut Hamka sendiri telah mampu
memberikan semangat baru baginya untuk mempelajari Islam. Rantau pengembara
pencarian ilmu dari tanah jawa itu, ia mulai dari kota Yogyakarta, kota tempat Ormas Muhammadiyah lahir. Melalui pamannya, Ja’far Amrullah ia mendapat
kesempatan mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan Muhammadiyah dan
Syarikat Islam. Dalam kesempatan ini, Hamka bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo,
di mana Hamka mendapatkan pelajaran tafsir Alquran darinya.[8] Selain itu pula ia
tertarik kepada seorang tokoh pergerakan Islam di Surabaya, Haji Umar Said
Cokroaminoto (HOS Cokroaminoto), ketua Umum Partai Sarekat Islam Indonesia.
Kepada tokoh inilah Hamka, sebagaimana tokoh-tokoh Indonesia lainnya, Ia belajar
masalah politik dan kenegaraan serta perjuangan kemerdekaan.[9]
Dalam pengalamanya belajar tafsir
saat ia berumur 16 tahun (1924) kepada Ki Bagus Hadikusuma, untuk pertama kali ia memperoleh
metode baru mempelajari tafsir, yaitu mementingkan maksud/kandungan ayat
Al-quran, bukan membaca matan tafsir dengan nahwu yang tepat,
seperti yang dijalaninya di Padang Panjang. Dan dari HOS Cokroaminoto ia
belajar hal banyak tentang Islam dan sosialisme serta Nasionalisme dan
menunjukkanya jalan dalam mengkhidmat bangsa. Kemudian ia juga belajar dari R.
M. Suryopranoto dan H. Fakhruddin mengenai sosiologi dan agama Islam,[10]juga Mirza Wali Ahmad
Baig, A. Hasan Bandung, dan terutama A.R. Sutan Mansur.[11]
Selama di Yogyakarta, ia sangat
beruntung bisa berkenalan dan sering melakukan diskusi dengan teman-teman
seusianya yang memiliki wawasan luas dan cendekia. Mereka antara lain adalah
Muhammad Natsir. Di sini, ia mulai berkenalan dengan ide pembaruan gerakan SI
(Sarikat Islam) dan Muhammadiyah yang dipimpin A.R. St. Mansur. Ide-ide
modernisasi yang dihembuskan para pemikir muslim waktu itu telah banyak
mempengaruhi pembentukan atmosfer pemikirannya tentang Islam sebagai suatu
ajaran yang “hidup”, inklusif, dan dinamis.[12] Di sini, ia melihat
perbedaan yang demikian kentara antara Islam yang hidup di Minangkabau (statis,
tradisional, dan terseret pertiakain khilafiah) dengan Islam yang hidup di
Yogyakarta (dinamis, modern, dan memusatkan diri pada perjuangan untuk
memajukan kaum muslim dari keterbelakangan dan ketertindasan).
Tiga tahun kemudian (1927), ia
berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menjadi koresponden
pada harian “Pelita Andalas” di Medan.
Sekembalinya dari Mekkah, ia tidak langsung pulang ke Minangkabau, akan tetapi
singgah di Medan untuk beberapa waktu lamanya. Di Medan, ia banyak menulis
artikel dipelbagai majalah waktu itu, seperti majalah “Seruan Islam” di Tanjung
Pura, pembantu redaksi “Bintang Islam” dan “Suara Muhammadiyah” di Yogyakarta.
Atas desakan iparnya, A.R. St. Mansur, ia kemudian diajak pulang ke Padang
Panjang untuk menemui ayahnya yang demikian merindukan dirinya. Sesampainya di
Padang Panjang, ia kemudian dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan
(anak mamaknya) pada tanggal 5 April 1929. Perkawinannya dengan Siti Raham
berjalan harmonis dan bahagia. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikarunia
11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam (meninggal usia 5 tahun), Zaky,
Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, ‘Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib.
Hamka menikah lagi dengan Siti Chadijah 6 tahun kemudian setelah istrinya Hj.
Siti Raham Rasul meninggal pada tahun 1971.[13]
Jabatan atau amanah yang pernah
diemban Hamka selama hidupnya antara lain sebagai berikut: pada tahun 1943,
menjabat sebagai konsul Muhammadiyah Sumatera Timur. Tahun 1947, sebagai Ketua
Front Pertahanan Nasional (FPN). Tahun 1948, sebagai Ketua Sekretariat bersama
Badan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK). Lalu, tahun 1950, Hamka menjadi Pegawai Negeri
pada Departemen Agama RI di Jakarta. Tahun 1955-1957, Hamka terpilih menjadi
Anggota Konstituante Republik Indonesia. Mulai tahun 1960, Hamka dipercaya
sebagai Pengurus Pusat Muhammadiyah. Pada tahun 1968, Hamka ditunjuk sebagai
Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Prof. Moestopo Beragama. Tahun 1975-1979
Hamka dipercaya oleh para ulama sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di
tahun yang bersamaaan, Hamka juga menjabat
sebagai Ketua Umum Yayasan Pesantren Islam al-Azhar
selama dua periode.[14]
Hamka meninggal dunia pada hari
jum’at, 24 Juli 1981. Beliau dikebumikan di TPU Tanah Kusir dengan meninggalkan
10 orang anak – 7 laki-laki dan 3 perempuan. Dari kesepuluh anak-anak tersebut,
saat ini jumlah cucu Hamka ada 31 orang
dan cicit sebanyak 44 orang. Ia mendapat Bintang Mahaputera Madya dari
Pemerintah RI di tahun 1986. Dan, terakhir di tahun 2011, ia mendapatkan
penghormatan dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional.[15]
2.
Karya-karya Hamka
Sebagai seorang yang berpikiran
maju, tidak hanya ia lakukan dengan di mimbar melalui berbagai macam ceramah
agama. Ia juga merefleksikan kemerdekaan berpikirnya melalui berbagai macam
karyanya dalam bentuk tulisan. Orientasi pemikirannya meliputi berbagai
disiplin ilmu, seperti teologi, tasawuf, filsafat, pemikiran pendidikan Islam,
sejarah Islam, fiqih, sastra, dan tafsir. Bahkan, meskipun dalam waktu relatif
singkat ia juga pernah terlibat dalam politik praktis.[16] Tulisan (artikel dan
buku) Hamka yang telah dipublikasikan sekitar 118 karya.[17] Di antara karya-karyanya sejauh temuan penulis sebagai berikut:
a.
Dalam
bidang keagamaan:
1)
Tasawuf modern, pada
awalnya merupakan kumpulan artikel yang dimuat dalam Pedoman Masyarakat.
Karena tuntutan masyarakat kemudian artikel tersebut dibukukan pada tahun 1939 dan
sampai tahun 1987 – sedikitnya – telah mengalami 16 kali cetak ulang. Dalam buku tersebut Hamka mencoba
membahasakan Tasawuf melalui “bahasa bumi” yang mudah dipahami oleh masyarakat
umum.[18]
2) Falsafah hidup, pertama kali diterbitkan pada tahun 1940. Ia memulai
buku ini dengan memaparkan hidup dan makna kehidupan.
3) Lembaga Budi (1939)
4) Pelajaran Agama Islam (1956)
5) Agama dan Perempuan (1939)
6)
Sejarah Umat Islam jilid I-IV (1951)
b.
Dalam
bidang sastra :
1)
Di Bawah
Lindungan Ka’bah (1936)
2)
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937)
3)
Tuan Direktur (1939)
4)
Dijemput Mamaknya (1939)
5)
Keadilan Ilahi (1939)
6)
Merantau Ke Deli (1940)
c.
Dalam bidang politik Hamka menulis beberapa
karyanya, yang semuanya diterbitkan bersamaan di tahun 1946:
1)
Islam dan Demokrasi
2)
Negara Islam
3)
Revolusi Pikiran
4)
Revolusi Agama
Dan terakhir yang merupakan salah
satu karya monumental Hamka dalam bidang tafsir yakni Tafsir Al-Azhar Juz
I-XXX. Buku ini mulai ditulis pada tahun 1962. Sebagian besar isi tafsir
ini diselesaikannya di dalam penjara, ketika ia menjadi tahanan antara tahun
1964-1967. Buku ini pertama kali dicetak pada tahun 1979 dan mengalami beberapa
kali cetak ulang bukan hanya di Indonesia, akan tetapi juga di Singapura.
Kupasan materi pada tafsir ini pada awalnya merupakan kumpulan ceramahnya pada
kuliah subuh yang dilakukannya di Masjid Agung al-Azhar Kebayoran Baru antara
rentang waktu 1958-1960.[20]
B.
Kitab Tafsir al-Azhar
1. Penamaan Kitab
Nama Tafsir al-Azhar yang digunakan
oleh Hamka untuk karya kitab tafsirnya berawal dari usulan Haji Yusuf, salah
seorang tata usaha majalah tengah bulanan Gema Islam di Masjid al-Azhar.
Usulun tersebut berupa permintaan penamaan terhadap rubrik rutinan yang memuat
semua pelajaran tafsir Alquran yang disampaikan oleh Hamka setiap usai shalat
subuh sejak tahun
1959. Kemudian atas usulan tersebut Hamka menamai rubrik tafsirnya dengan Tafsir
al-Azhar seperti pernyataanya: “langsung
saya berikan namanya baginya Tafsir al-Azhar, sebab “tafsir” ini timbul
di dalam Masjid Agung al-Azhar, …, sebagai simbol terima kasih saya atas penghargaan
yang diberikan oleh al-Azhar kepada
diri saya”.[21]
Penghargaan yang dimaksud adalah anugerah gelar Doctor Honoris Causa (Dr. H.C.)
dari Universitas Al-Azhar Kairo,tanggal 19 Oktober 1960.
2. Latar Belakang Penulisan
Proses penulisan Tafsir al-Azhar
sebenarnya sudah dimulai sejak pertama kali pemuatannya dalam majalah tengah
bulanan Gema Islam, yaitu mulai terbitan nomer 2, tanggal 1 Februari
1962. Setelah berjalan dua tahun, penulisan dan pemuatannya dalam Gema Islam
telah mencapai satu setengah juz Alquran, yaitu mulai juz XVIII (surat al-Mu’minu>n/23) sampai pertengahan juz XIX (pertengahan surat as-Syu’ara>/26). Kegiatan
penulisan ini harus terhenti, karena terjadi suatu peristiwa yang amat penting
dalam kehidupan Hamka, yaitu ditangkap oleh dan menjadi tahanan politik rezim
Orde Lama.[22]
Dalam muqaddimah
kitab tafsirnya ia menjelaskan beberapa tuduhan yang dialamatkan kepadanya: pertama,
ia dituduh mengadakan rapat gelap di Tanggerang pada tanggal 11 Oktober
1963 yang bermaksud untuk membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri,
bersekongkol dengan Perdana Menteri Malaysia, Tangku Abdul Rahman Putera. Kedua,
ia dituduh menghasut mahasiswa agar meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo,
Daud Beureueh, M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, ketika ia mengisi
perkuliahan di IAIN Ciputat. Ketiga, ia dituduh melakukan kontak dengan
kaki-tangan Tengku Abdul Rahman di Pontianak ketika ia mengadakan perjalanan ke
Pontianak awal September 1963.[23]
Terlepas dari segala tuduhan yang
dialamatkan kepadanya pada saat itu. Hamka mencoba mengambil hikmah dan
bersabar dengan apa yang dialaminya dengan berkaca kepada pengalaman beberapa
tokoh Islam seperti Ibnu Taimiyah yang dipenjarakan oleh musuh-musuhnya. Akan tetapi, ia tetap sabar
dan menganggap apa yang dialaminya sebagai sebuah sarana baginya untuk
berkhalwat; serta menjadikan hal tersebut sebagai nikmat dari Allah Swt karena
dengan itu ia tidak termasuk dalam golongan tukang fitnah dan golongan
orang-orang yang zalim.[24]
Dalam perjalanannya yang harus
mendekam dibalik jeruji besi tersebut ia bertekad untuk menyelesaikan karya
tafsirnya yang sempat tertunda ketika itu. Karena menurutnya jika ia masih di
luar, mungkin pekerjaannya dalam menafsirkan Alquran tidak mungkin selesai.
Maka dalam kurun waktu 2 tahun ia pergunakan sebaik-baiknya sehingga beberapa
hari sebelum ia dipindahkan ke dalam tahanan rumah, ia mampu menyelesaikan
penafsirannya 30 Juz.; dan semasa dalam tahanan rumah dua bulan lebih ia
pergunakan pula buat menyempurnakan kekurangan dalam tafsirnya.[25] Menurut Rusydi, proses
perbaikan dan penyempunaan Tafsir al-Azhar terus berlanjut selama 12
tahun (1966-1978), dan naskah terakhir yang direvisinya adalah juz XIX.[26]
Kurun waktu dalam penulisan Tafsir
al-Azhar, jika disimpulkan dari awal penulisan hingga revisi terakhir,
memakan waktu yang cukup panjang yaitu 16 tahun (1962-1978). Jika kegiatan
penafsirannya sendiri yang dijadikan acuan, maka riwayat tersebut lebih panjang
lagi, yaitu dimulai sejak akhir 1959 saat dimulainya kegiatan kuliah subuh
tafsir Alquran yang diasuh sendiri oleh Hamka.
Dengan karya tafsirnya tersebut,
Hamka berharap semoga orang-orang dapat mengingatnya sebagai suatu hasil
khidmat untuk Tuhan dan umat, yang dapat ia kerjakan semasa ia teraniaya; dan
harapan ketika ia sudah meninggal dunia dan orang-orang yang menganiayanya juga
demikian maka karyanya masih dibaca dan ditelaah oleh orang-orang setelahnya.[27]
3. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan suatu karya tafsir,
dikenal sistematika penulisan atau penyusunan kitab tafsir. Perlu diketahui
bahwa sistematika penyusunan kitab tafsir ada 3 macam yang dikenal dikalangan
para ahli tafsir: tarti>b mus}h}afi> (urutan ayat dan surat), tarti>b nuzu<li (urutan
kronologi turunnya surat-surat), dan tarti>b maudu>’i (urutan sesuai tema).[28]
Hamka dalam penulisan kitab
tafsirnya memulai dengan surat al-Fa>tih}ah dan diakhiri dengan surat an-Na>s, dengan demikian ia memakai tarti>b mus}h}afi>, yaitu dalam menafsirkan ayat Alquran sesuai dengan urutan ayat dan
surat yang terdapat dalam mushaf. Penafsir lain yang juga menggunakan
sistematika ini di Indonesia, seperti: Tafsir al-Misbah (karya Quraish
Shihab).
4. Metode Penulisan
Secara umum dikenal empat macam metode
penafsiran dengan aneka macam hidangannya, yaitu: pertama, metode tahli>li>, yakni metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari
berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufassir-nya
yang dihidangkan secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam Mushaf.
Kedua, metode ijma<l>i, yakni metode ini hanya menguraikan makna-makna umum yang
dikandung oleh ayat yang ditafsirkan, namun sang mufassir diharapkan
dapat menghidangkan makna-makna dalam bingkai suasana Qur’ani. Ketiga, metode
muqari<n, yakni perbedaan
pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat yang sama. Keempat, metode maud}u>’i, yakni metode yang mengarahkan pendangan kepada satu tema tertentu,
lalu mencari pandangan Alquran tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun
semua ayat yang berkaitan dengan tema tersebut.[29]
Dalam kitab tafsirnya Hamka
memberikan ulasan mengenai isi penafsiran dalam kitabnya. Ia menerangkan bahwa
dalam tafsirnya ia memelihara sebaik-baiknya hubungan di antara naql dengan
aql. Di antara riwa>yah dengan dira>yah. Ia tidak hanya
semata-mata mengutip atau menukil pendapat orang yang telah terdahulu, tetapi
mempergunakan juga tinjauan dan pengalaman sendiri. Dan tidak pula semata-mata
menuruti pertimbangan akal sendiri, seraya melalaikan apa yang dinukil dari
orang yang terdahulu, berarti hanya suatu “textbook thinking”. Sebaliknya kalau
hanya memperturutkan akal sendiri, besar bahayanya akan terpesona keluar dari
garis tertentu yang digariskan agama, sehingga dengan tidak disadari boleh jadi
menjauh dari maksud agama.[30]
Dengan melihat penjelasan Hamka yang
sedemikian rupa dapat dipahami bahwa ia mencoba memahami kandungan ayat Alquran
dengan sebaik mungkin mengacu kepada berbagai dalil naqli> dan aqli> yang dibutuhkan
serta keterangan mengenai ayat atau surat yang ditafsirkan dan juga memasukkan
pendapatnya sendiri dalam menafsirkan ayat tersebut. Seperti contoh dalam
menafsirkan surat al-Fa>tih}ah, ia menuliskan asba>bu an-nuzu>l, riwayat-riwayat
naqli>, pendapat-pendapat
ulama, kemudian ia juga ikut menuliskan pendapatnya dalam penafsiran surat
tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hamka dalam penafsirannya
menggunakan manha>j tahli>li.
0 komentar:
Posting Komentar