PINTU IJTIHAD TERTUTUP ???
Perkembangan zaman
yang terus berkembang menjadi tolak ukur bagi agama islam untuk bisa menjadi
bagian penting di dalamya. Islam harus terus maju dan berkembang sesuai
perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan nilai-nilai penting yang sudah ada
dan tertanam kuat dalam ajaran dan keyakinan dasarnya. Dengan tujuan islam
menjadi penggerak terhadap berkembangnya zaman agar selalu bisa diarahkan.
Namun islam akan sulit diterima dalam perkembangan zaman jika islam tidak bisa
dikembangkan untuk menjawab permasalahan umat yang kian menggunung. Yakni jika
islam hanya dipahami dari unsur tekstualnya saja tanpa penalaran lebih lanjut
yang dalam hal ini yang dimaksud adalah ijtihad maka bisa dikatakan islam bisa
menjadi sulit diterima dalam perkembangan zaman karena sulit untuk menjadi
rujukan penyelesain masalah.
Setiap hal yang
kita lakukan memang seharusnya tidak boleh keluar dari pokok dasar ajaran agama
islam yakni Al-Qur an dan As-Sunnah. Namun bukan merupakan sebuah hal yang salah
jika kita ijtihad dipakai untuk memahami serta menjawab permasalahan yang
terjadi. Al-Qur an diciptakan oleh tuhan sebagai sebuah pedoman yang mengarah
kepada kebaikan dan keselamatan. Dan unsur penting ini seharusnya bisa
dijadikan rujukan bahwa dengan kata lain kesemuanya itu menjurus kepada
kepentingan manusia. Jadi selama hasil ijtihad yang dilakukan itu masih dalam
koridor syariah yang ada dan bisa menjadi penjawab atas sebuah masalah yang
dihadapi maka menjadi sebuah hal yang sepantasnya kita bisa menerima dan
bersikap terbuka atas pentingnya ijtihad.
Dalam permasalah
seputar ijtihad kita pelajari dan ambil hikmah dari kisah semasa kepemipinan
Khalifah Umar bin Khattab yakni ketika Khalifah Umar mendapat berita perihal
ditaklukannya Syam, Irak, dan Persia oleh pasukan Islam. Ketiga daerah itu
sangat kaya. Umar segera menghadapi masalah rumit berkaitan dengan pembagian
pampasan perang. Singkat cerita, atas kebijaksanaannya, Umar membagi-bagikan
rampasan perang yang merupakan barang-barang bergerak seperti kuda, emas, budak
dan lain sebagainya pada para pasukan setelah mengambil seperlimanya. Perihal
tanah-tanah pertanian yang begitu luas dan subur ia sita. Tanah-tanah itu
dijadikan milik negara dan tidak dibagi-bagika pada bala tentara. Tanah itu
tetap berada dalam tangan pemilik aslinya. Sebagai gantinya, Umar memungut
pajak atas tanah-tanah tersebut. Uang dari hasil pajak itulah yang kemudian
digunakan oleh Umar untuk mencukupi segala pembiayaan didaerah setempat pasca
penaklukan. Termasuk didalamnya menggaji para tentara yang bertugas di sana.
Namun kala itu Keputusan ini sangat
kontroversial dan membuat Madinah gonjang-ganjing. Banyak para sahabat seniaor
saat itu tidak setuju. Umar disebut-sebut telah mengingkari Kitab suci,
menghianati Alquran. Umar, menurut para sahabat yang tidak setuju terhadapnya
dicap sebagai orang yang mengkhianati titah Tuhan dalam surat al-Anfal: 41,
perihal pembagian pampasan pe,rang.
Umar juga dianggap mengingkari tradisi Nabi, karena masih segar dalam ingatan
para sahabat saat-saat ketika Nabi membagikan tanah hasil perang daerah
khayibar setelah ditaklukan.
Akan
tetapi Umar tetap teguh dalam pandangan genialnya. Ia berfikir bahwa
kemaslahatan lebih utama ketimbang makna tekstual kitab suci. Bilal, muazin
sekaligus sahabat kesayangan Rasul, Abdurahman bin Auf dan Zubair bin Awwam
mati-matian menentang Umar. Argumen mereka mirip dengan argumentasi ulama anti-ijtihad
jaman sekarang dalam menanggapi setiap usaha ijtihad yang muncul: Umar
melanggar kitab Allah; pergi dari kitab Allah dan Sunnah rasul. Namun
untungnya, orang seperti Bilal dan kawan-kawan tak sempat membuat fatwa mati
bagi Umar.
Kala itu
perdebatan semakin memanas dan hampir menjurus pada permusuhan. Argumentasi
Umar tak kunjung membuat hati Bilal terbuka. Dan malah membuat Bilal semakin keras
menentang Umar. Dalam kesedihan dan sesak dada, Umar menengadahkan tangan dan
berdoa: Ya Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan. Terhadap tuduhan
bahwa dirinya telah keluar dari Alquran Sunnah, kemudian Khalifah Umar dengan
tenang menjawab: betul dirinya telah keluar dari Alquran, tetapi justru untuk
kembali pada Alquran. Lantas sejarah membuktikan, Ali bin Abi Thalib dan Utsman
beserta seluruh penduduk Medinah merestui hasil Ijtihadnya itu.
Dari
sejarah di atas kita bisa sedikit memahami bahwa ijtihad merupakan hal penting
yang bisa menjadikan islam lebih berkembang maju tidak kaku dan lebih komperhensif.
Sebab Masa lalu Islam adalah masa lalu yang dinamis dan senantiasa progresif.
sebagai ilustrasi betapa dinamisnya Islam masa lalu, Muhammad Iqbal, dalam
bukunya Reconstruction of Religious Thought in Islam mengemukakan sebuah data
yang mencengangakan: menurutnya, menggutip hasil penelitian Prof. Horten,
antara tahun 800 sampai 1100 tak kurang dari seratus sistem teologi muncul
dalam Islam. Betapa kayanya. Padahal kebanyakan kita hanya mengetahuinya
beberapa saja. Dinamisme itu hilang seiring dengan dilarangnya berijtihad oleh
para ulama menyusul jatuhnya Bagdad ke tangan bangsa Tartar pada abad 13.
Keadaan umat Islam yang gonjang-ganjing menyebabkan para ulama konserfatif saat
itu merasa perlunya stabilitas dan ketertiban. Dan itu hanya bisa dicapai oleh
keseragaman. Karena alasan itulah lantas pintu ijtihad di tutup. Umat
Islam sekarang membutuhkan satu hal untuk kembali memutar dinamisme dan kembali
menggapai kemajuan. Iqbal menyebutnya The principle of movement, kita
menyebutnya ijtihad.
Pernyataan
tentang pentingnya ijtihad pun sedikit mendapat angin segar dari pendapat
seorang Ulama besar yakni KH. Imam Zarkasyi mengatakan bahwa ulama sekarang
lebih susah melakukan ijtihad sama sekali tak beralasan. Justru ulama yang
hadir kemudian mempunyai kemungkinan dan kemudahan lebih besar untuk berijtihad
dibanding para pendahulunya. Bukankah para pendahulu kita telah menyediakan
segudang kekayaan intelektual yang seharusnya memudahkan kita. Kita punya lebih
banyak bahan untuk menafsirkan, bahkan lebih dari yang kita butuhkan.
Dari
beberapa hal di atas kita bisa mengambil beberapa hal penting mengenai perihal
tentang penetapan hukum yang mungkin seharusnya bisa didasari dengan ijtihad
pula agar bisa didapati sebuah hukum yang lebih bisa diterima dan mampu menyelesaikan
pelbagai permasalahan umat yang rumit bahkan yang lebih dari itu. Sebab kita
yakini bahwa Al-Qur an memiliki norma dan nilai yang tersirat yang membutuhkan
pengkajian lebih dalam karena salah satu yang menjadi kemukjizatan Al-Quran
adalah ia memiliki banyak sumber ilmu dan manusialah yang harus menggalinya
sehingga ia menjadi kitab yang paling sempurna karena selalu bisa dijadikan
rujukan dari masa ke masa.
NAMA :
Abdullah Zahir
NIM : 11530097
KELAS : TH D
NIM : 11530097
KELAS : TH D
0 komentar:
Posting Komentar