Pages

Rabu, 07 Mei 2014

Studi Kitab Ma'anil Qur'an Karya al-Farra'

STUDI KITAB MA’ANIL QUR’AN KARYA AL-FARRA’
Tugas ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

Studi Kitab Tafsir Klasik – Tengah
Ditulis oleh :
Abdullah Zahir (11530097)
Fauziatul Ummayah (11530098)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014

A.    Pendahuluan
Perkembangan Islam keseluruh penjuru dunia dan keseluruh lapisan masyarakat yang berbeda-beda dari segi adat dan istiadat serta yang lainnya juga memberikan dampak terhadap berkembangnya tafsir al-Qur’an sebagai interpretasi konkret dari sebuah semangat untuk menjadikan al-Qur’an selalu komunikatif dengan perkembangan zaman serta masyarakatnya yang terus mengalami perubahan dari masa-masa sebelumnya agar al-Qur’an shalih likulli zaman wa al-makan yang merupakan sumber atau rujukan utama dalam ajaran Islam
Dalam perkembangan tafsir dari masa ke masa lahir berbagai macam karakteristik penafsiran. Hal tersebut juga tidak lepas dari pribadi mufassir yang mempunyai ke-khas-an intelektualitasnya atau konsen keilmuannya serta kapasitas pemahaman mufassir dan beberapa faktor lain yang melatarbelakangi penafsiran seorang mufassir.
Salah satu produk penafsiran yang muncul pada akhir abad kedua Hijriyah yakni kitab Ma’anil Qur’an karya al-Farra’ alias Abu Zakariya Yahya Ibn Ziyad Ibn Abdillah. Nama al-Farra’ merupakan sebutan untuknya atas kepiawaian atau kecerdasannya dalam bidang bahasa. Kecerdasaannya dalam bidang bahasa tersebut pulalah yang kemudian jadi alat untuknya dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga penafsirannya mempunyai ciri khas sendiri yakni kentalnya kajian kebahasaan dalam penafsirannya terhadap al-Qur’an.
dari ulasan singkat di atas menjadi latar belakang penulisan makalah ini untuk bisa lebih mendalam mengupas kitab tafsir karya al-Farra’ yang berjudul Ma’anil Qur’an demi mengetahui informasi terkait kitab tersebut dalam beberapa aspeknya, diantaranya yakni : (1) membahas riwayat singkat al-Farra’ agar kita bisa memahami latarbelakang beliau, (2) membahas seputar pembuatan kitab tafsir Ma’anil Qur’an dari beberapa segi seperti halnya sejarah penulisan, sitematika penulisannya, dan sebagainya.


B.     Mengenal al-Farra’
Beliau adalah Abu Zakaria Yahya bin Ziyad bin Abdullah bin Manshur ad-Dailami. Nama beliau dinisbatkan pada Ad-Dailam adalah sebuah daerah yang terdapat di Persia. Al-Farra’ juga dikenal dengan Yahya bin al-Aqtha’, al-Aqtha’ adalah ayah beliau, Ziyad adalah salah seorang sahabat yang ikut serta dalam peperangan yang dipimpin oleh Husein bin Ali RA, digelari dengan al-Aqtha’ (si buntung  tangan) karena tangan beliau tertebas oleh pedang pada waktu perang tersebut. Ibnu Khallikan berpendapat, yang digelari dengan al-Aqtha’ tersebut adalah kakeknya, karena apabila dilihat dari tahun kelahiran al-Farra’ pada tahun 144 H, sedangkan peperangan Husein terjadi pada tahun 61 H, jelas terlihat ada jarak 84 tahun antara peperangan tersebut dengan kelahiran al-Farra’.[1] Nenek moyang atau keluarga beliau masuk Islam sejak pertama kali Islam masuk ke Ad-Dailam dan Persia. Ini ditunjukkan oleh nama ayahnya yang telah menggunakan bahasa Arab. Sedangkan ibunya adalah bibi Muhammad bin Hasan, sahabat Abu Hanifah.
Kata “al-Farra’” merupakan sebuah gelar yang diberikan kepada  Yahya bin Ziyad. Digelari Al-Farra’ karena kepiawaian beliau dalam berbicara, sangat baik dalam mensistematisasikan persoalan, senada dengan pendapat Abu Fadhl al-Falaki bahwa a-Farra’ menunjukkan pada orang yang piawai dalam berbicara. Menurut pendapat lain, gelar al-Farra’ ini diberikan kepada beliau karena kepintaran beliau dalam memecahkan permasalahan, dan mampu mengalahkan lawan bicara dengan persoalan-persolan yang ditujukan kepada beliau.
Al-Farra' lahir di Kufah tahun 144 H pada masa Abu Ja’far al-Mansur. Pada masa itu Kufah merupakan kota pelajar, tempat pengajaran berbagai cabang ilmu dan gudangnya ulama. Itulah salah satu faktor untuk mendapatkan guru dari berbagai cabang ilmu beliau tidak perlu keluar dari kota tersebut. Di kota tersebut al-Farra’ berguru pada Qois bin Rabo’, Mandal Ibn Ali, Abu Bakr Ibn Mayyas, al-Kisa’i serta Sufyan Ibn ‘Uyainah.[2]
Ia mempunyai daya hafal yang kuat, ia menghafal setiap pembelajaran yang diberikan gurunya. Kekuatan daya hafal tersebut sangat melekat pada diri al-Farra’ sepanjang hidupnya, Setiap kali mendiktekan karya-karyanya konon tak satupun yang didiktekan dari naskah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagaimana lazimnya tradisi oral bukan tradisi tulis, al-Farra’ mampu menunjukkan kelebihannya sebagai seorang analisis yang tidak berorientasi pada pemindahan bunyi teks semata. Karena tidak terikatan terhadap naskah menunjukkan dia lebih leluasa mengekspresikan gagasan-gagasan pribadinya. Keberanian semacam ini tentu hanya dimiliki oleh orang yang memiliki kapasitas penalaran sekaligus bekal hafalan yang memadai, terutama sebagai spesialis bahasa murid pujangga besar al-Kissa’i.[3]
Kepiawaian al-Farra’ berbicara dan bertukar pendapat -terutama dalam bidang bahasa-  menjadikan beliau berkedudukan  yang tinggi yang tiada tandingnya. Beliau dikenal sebagai tokoh besar Kuffah setelah Al-Kisa’i. Tsa’lab berkomentar: ”Kalau saja tidak ada al-Farra’ bahasa arab tidak akan dapat berkembang sampai saat sekarang ini, karena beliaulah yang meringkas dan menyusunnya sehingga bahasa Arab akan lenyap. Hai ini terjadi karena banyaknya pertentangan dan klaim dari orang-orang yang menginginkannya, sedangkan masyarakat pada waktu itu menggunakan bahasa Arab sesuai dengan keintelektualan mereka masing-masing sehingga mudah menyebabkan eksistensi bahasa Arab semakin pudar.
Pertemuan al-Farra’ dengan khalifah Al-Ma’mun melalui perantaraan Tsumamah bin al-‘Asyras al-Mu’tazili. Pada satu kesempatan Tsumamah menguji al-Farra dalam beberapa bidang keilmuan, dia berkata: ”Aku melihat al-Farra’ adalah seorang penyair yang sangat besar, lalu aku duduk dan mengajak beliau berdiskusi dalam masalah bahasa Arab. Setelah perdebatan tersebut aku mengetahui bahwa beliau adalah pakar sastra arab dan juga seorang ahli nahwu. Kemudian aku berdiskusi mengenai fiqh, ternyata beliau adalah pakarnya dan mengetahui perdebatan-perdebatan di antara ulama fiqh. Setelah itu, aku berdiskusi dengan beliau masalah ilmu nujum, kedokteran, sejarah Arab, dan sastra-sastra Arab, ternyata beliau adalah pakarnya.”[4]
Menurut Ibnu Nadim: “Al-Farra’ menghabiskan sebahagian besar hidupnya di Baghdad mulai dari masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun sampai pada kekhalifahan Harun Ar-Rasyid, hanya saja setiap akhir tahun beliau berkunjung ke Kuffah dan menetap selama 40 hari bersama keluarga dan memberikan harta untuk keluarga beliau, lalu kemudian beliau kembali ke Baghdad.”
            Beliau wafat dalam perjalanan ke Mekkah pada tahun 207 H dalam usia 63 tahun, menurut Ansab as-Sam’ani, beliau meninggal pada 209 H. Namun, dengan wafatnya beliau bukan berarti beliau telah kehilangan eksistensi dalam ranah keilmuan Islam terutama dalam bidang bahasa, dalam perjalanan hidup al-Farra’ tercatat ada 17 buku yang menjadi karya al-Farra’ termasuk kitab “Tafsir Ma’anil Qur’an”. dan kitab lain diantaranya[5] :  
a.        Alatul Kitab
b.        Al-Ayyamu wa Al-layali
c.         Al-Baha’
d.        Al-Jam’u wa Tanbih fi al-Qur’an
e.         Al-Hudud, berisi tentang kaidah bahasa arab
f.          Huruf al-Mu’jam
g.        Al-Fakhir fi al-Amtsal
h.        Fi’il wa Af’al
i.          Al-Lughat
j.          Al-Mudzakkar wa al-Muannats
k.         Al-Musykil ash-Shaghir
l.          Al-Musykil al-Kabir
m.      Al-Mashadir fi al-Qur’an
n.        Ma’anil Qur’an
o.        Al-Maqshur wa al-Mamdud
p.        Al-Nawadir
q.        Al-Waqf wa al-Ibtida’
C.    Seputar tentang kitab Ma’anil Qur’an
a.       Sejarah Penulisan
Pada awalnya motif penyusunan kitab ini adalah untuk membahas isi dari nash-nash al-Qur’an yang sulit penafsirannya dan memerlukan perhatian lebih dalam pemahamannya. Disebutkan dalam beberapa sejarah tafsir, kitab ini disusun karena permintaan dari salah seorang murid/sahabat beliau ‘Umar ibn Bakir yang secara kebetulan tidak bisa menjawab pertanyaan perihal al-Qur’an dari gubernur al-Hasan ibn Sahl. ‘Umar ibn Bakir meminta bantuan al-Farra’ menulis prinsip-prinsip penafsiran/buku rujukan yang dapat ia gunakan sebagai pegangan dalam menjawabnya. Hal ini ia lakukan karena al-Farra’ dirasa mumpuni dalam informasi mengenai idiom-idiom/istilah tertentu yang hanya dapat dianalisis oleh ahli bahasa sepertinya.
Sejak saat itulah ia mulai membuat halaqah di waktu tertentu untuk mendiktekan isi kitab Ma’ani al-Qur’an kepada murid-muridnya. Dan inipun dilakukan oleh murid yang telah ditunjuknya untuk membacakan ayat-ayat tertentu. Keunikan caranya ini mengherankan Abu al-‘Abbas, ia bertutur: “Belum ada seorang pun yang menempuh cara ini.[6] Dari kata-katanya ini menimbulkan perdebatan apakah kitab ini merupakan kitab tafsir pertama yang tersusun secara sisitematis atau tidak. Terlepas dari perdebatan ini, al-Farra’ memanglah menyusunnya secara sistematis dengan kupasan makna-makna yang kompleks secara komprehensif. Maka dari itulah kitab ini dinamakan Ma’ani al-Qur’an, yang berarti kupasan makna kata-kata tertentu sebagai pedoman dalam menjawab persoalan yang mungkin tumbuh di lingkungan tertentu menyangkut al-Qur’an.[7]
Satu di antara murid-muridnya yang hadir dalam majlis halaqahnya mampu menangkap dan mencatat ulang ceramah al-Farra’, yaitu Muhammad ibn al-Jahm al-Simarri. Kodifikasiannya pun sempat mendapat koreksi langsung oleh al-Farra’. Inilah yang menjadikannya lebih unggul dan populer dari perawi ma’anil Qur’an lainnya. Menurut al-Simarri, kitab tersebut didiktekan al-Farra’ dari hafalannya langsung tanpa catatan dalamsuatu majlis yang dijadwalkan setiap hari Selasa dan Jum’at pagi sejak bulan Ramadhan tahun 201 Hijriyah hingga beberapa tahun di tahun 2014 Hijriyah.[8]
b.      Konstruksi Tafsir dalam Ma’ani al-Qur’an
Kitab  ini terlahir dari seorang pendekar bahasa di Kuffah. Tak heran jika dalam karya tafsirnya ini, aroma linguistik sangat terasa dalam setiap sendi-sendi penafsirannya. Ditinjau dari ruang historisitas yang melingkupi al-Farra’ dan motif dari penulisan kitabnya, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa kitab ini lebih layak disebut tafsir linguistik al-Qur’an (tafsir lughawy).
Setidaknya gambaran umum sekitar konstruksi tafsir al-Farra’ ini dapat dilihat dari bagian pendahuluan kitabnya, meskipun dalam bentuk yang sangat singkat sekali. Perawi level kedua tafsir ini meriwayatkan dari perawi yang pertama yakni  Muhammad ibn al-Jahm, bahwa pada awal mulanya, al-Farra’ menyatakan bahwa karyanya ini adalah tafsir Musykili I’rabil Qur’an wa Ma’anihi (Penafsiran atas problem I’rab dan semantikal al-Qur’an).[9] Sebuah ungkapan yang sangat simple dan fundamental.
Jika memang nama ini adalah yang dimaksud al-Farra dalam kitab tafsirnya, maka hal ini menunjukan maksud utama al-Farra’ dalam tafsirnya, yakni konsentrasi prioritas tafsirnya ini hanya berkutat pada aspek gramatikal ayat yang mungkin akan berpengaruh terhadap pemaknaan al-Qur’an.
Karena tujuannya inilah, harus dipahami bahwa nantinya yang menarik perhatian al-Farra’ adalah bukan pesan dasar al-Qur’an secara holistik, tetapi hanya unit-unit terkecil al-Qur’an pada bagian-bagian tertentu saja. Misalnya, kupasannya dalam surat al-fatihah hanya terkonsentrasikan kepada alif dalam kata ism dalam kalimat bismillah, I’rab-nya ghair dan makna la pada potongan ayat terakhir surat al-Fatihah.[10]
c.       Sistematika Penyusunan Kitab
Dalam penulisan kitab tafsir di kenal adanya tiga sistematika penulisan. Pertama, Mushafi, yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surah-surah dalam mushaf. Ke Dua, Nuzuli, yaitu dalam menafsirkan alqur’an berdasarkan kronologis turunnya surah-surah al-Qur’an. Ketiga, Mau’dui, yaitu menafsirkan al-Qur’an berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungan nya dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan. Sedangkan Al farra dalam menulis kitab tafsirnya memulai dari surah al Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Ditinjau dari data yang sudah kami lihat dan dapatkan dalam kitab Ma’anil Qur’an terkait penyusunannya sejauh yang kami pahami yakni disusun sesuai urutan surat dalam Mushaf Usmani seperti biasanya. Namun, dalam kitab tersebut hanya menafsirkan beberapa ayat dalam masing-masing surat dan tidak ke-semua-an ayat dalam setiap surat al-Qur’an yang ditafsirkan. Kitab ini terdapat 3 jilid :
a)      Jilid pertama berisi surat al-Fatihah sampai surat Yunus
b)      Jilid kedua berisi surat Hud sampai surat az-Zumar
c)      Jilid ketiga berisi surat al-Mu’min sampai surat an-Naas
d.      Corak dan Metode Penafsiran
Secara kategoris, John Wansbrough memetakan karya tafsir Ma’anil Qur’an ke dalam tafsir tekstual, yaitu tafsir yang lebih berfokus pada uraian tentang aspek-aspek leksikon dalam ragam bacaan ayat al-Qur’an.[11] Hal tersebut juga sebagaimana yangkami kutip dalam sumber lain bahwa al-Farra’ menjadikan para ahli Qira’at sebagai sumber yang sedemikian tinggi sebagai bahan penafsirannya. Sebagaimana yang ia ungkapkan setelah ia memberi nama atas karyanya tersebut :
“persoalan pertama tentang penafsiran atau kupasan tentang persoalan I’rab al-Qur’an adalah kesepakatan para Qurra’ dan penulis mushaf untuk membuang alif dari kata ism dalam lafaz bismillahir rahmanir rahim. Para Qurra’ tidak membuang alif dalam lafaz fasabbih bismirabbikal ‘azim (Qs. Al-Waqi’ah [56]: 74)..).[12]
Ketinggian ahli qira’at sebagai sumber utama penafsiran al-Farra’ tampaknya karena dia melihat adanya karakteristik yang unik pada ahli qira’at yang tidak ada pada para mufassir umumnya. Dengan kata lain, al-Farra’ menganggap mufassir berbeda dengan ahli qira’at dalam hal yang menyangkut kepentingannya sebagai peminat studi gramatika arab. Pemilahan antara ahli mufassir dan qira’at oleh al-Farra’, lebih tampak jelas ketika Farra’ membahas potongan ayat dalam (Qs. 79: 11). Kata al-Nakhiroh dalam ayat ini oleh al-Farra’ diberi komerntar dengan pernyataannya:
“beberapa qurra’ membacanya dengan pendek pada huruf na ddan qurro’ yang lain membacanya dengan harkat panjang (artinya para qurro’ menganggap sama konsekuensinya dalam penafsiran sehingga bisa dipakai kedua-duanya). Sedangkan para mufaasir membedakan keduanya….”
Pernyataan al-Farra’ tersebut jelas-jelas menunjukkan bahwa dia memposisikan para qurro’ dalam posisi yang berbeda dengan mufassir. Ada dugaan yang kuat bahwa pembedaan ini dilatarbelakangi oleh perbedaan hubungan antara ahli grammar dengan mufassir. Ahli grammar merupakan jaringan dari ahli qira’at tapi tidak memiliki hubungan langsung dengan mufassir. Karena qira’at sebagian besarnya merupakan ekpresi gramatik, sedang tafsir adalah tindakan mufassir dalam hal eksplanasi tekstualnya. Dugaan ini diperkuat oleh fakta bahwa jaringan isnad para qurro’ terutama di Kufah banyak terdiri dari para ahli grammar tetapi tidak demikian halnya dengan jaringan isnad dalam tafsir (mufassir).[13]
Kemudian jika dilihat dari segi metode yang digunakan al-Farra’ yakni metode tahlily/analisis karena sebagaimana pengertian yang penulis kutip dari Quraish Shihab mengenai metode tahlily yakni sebuah metode yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufassirnya. Metode ini memiliki beragam jenis hidangan yang ditekankan penafsirannya; ada yang bersifat Kebahasaan, Hukum, Sosial Budaya, Filsafat/Sains dan Ilmu Pengetahuan, Tasawuf/Isyariy, dan lain-lain.[14] Meskipun al-Farra’ tidak menafsirkan keseluruhan ayat dalam setiap surat al-Qur’an.
e.       Objek formal dan contoh penafsiran al-Farra’
Titik bidik penafsiran al-Farra’ perlu untuk dipahami sebab kenyataannya tidak semua ayat dalam setiap surat al-Qur’an tidak ia tafsirkan. Dalam hal ini tampaknya al-Farra’ berupaya untuk tetap konsisten dengan desain yang dirancangnya dalam pernyataannya yang pertama yakni pernyataan yang lebih tepat dianggap sebagai pemberian nama atas karyanya ini. Dalam pernyataan tersebut tersirat tujuan al-Farra’ dengan karyanya ini dalam rangka memberikan uraian pemecahan problem I’rab al-Qur’an di samping pemaknaannya.[15]
Kecenderungannya tersebutlah yang kemudian menjadikan al-Farra’ hanya tertarik dengan penggalan ayat-ayat tertentu saja. Terkadang yang menarik perhatiaannya itu berupa syakal dari kata tertentu saja. Misalnya dalam kasus tertentu surat al-Fatihah adalah harakat lafaz al-hamdu atau tidak diberi vokalnya huruf-huruf muqatta’ah di awal beberapa surat seperti di awal surat al-Baqarah.
Conton penafsiran al-Farra’ :
Ø  Surat Al-Fatihah 1-7
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
Artinya : "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (1) Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (2) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (3) Yang menguasai Hari Pembalasan (4) Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan (5) Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (6) (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (7). (QS. Al-Fatihah 1-7)
Dalam surat al-Fatihah ini tidak semua ayat oleh al-Farra' ditafsiri. Beliau hanya memilih beberapa kata yang mungkin perlu untuk dikupas lebih lanjut. Dalam surat ini penafsiran beliau hanya terkonsentrasi pada I'rabnya Alhamdulillah, ghair, dan la pada potongan ayat terakhir surat al-Fatihah (Wala al-Dhallin).
قوله تعالى: {الْحَمْدُ للَّهِ...} اجتمع القرّاء على رفع الحمد. وأمّا أهل البَدْو فمنهم من يقول : "الحمدَ لِلّه". ومنهم من يقول: "الحمدِ لِلّه ". ومنهم من يقول : "الحمدُ لُلّهِ" فيرفع الدال واللام
Menurut al-Farra' pada firman Allah الْحَمْدُ للَّهِ terdapat 4 macam versi, yaitu[16] :
1.      Ahli Qiro’at bersepakat membaca rafa' kata  الْحَمْدُ .
2.      Sedangkan orang Badui (pedalaman arab) membaca nasab, yakni الحمدَ لِلّه, Golongan ini berpendapat bahwasannya kata  الحمد bukanlah berbentuk isim (kata benda) melainkan Mashdar. Dalam hal ini boleh membacanya dengan أحمد اللّه. Lebih lanjut golongan ini berargumen ketika kata tersebut cocok sebagai mashdar maka diperbolehkan dengan membaca nasab seperti di atas.
3.      Dan yang meng-khafad-kan daal yakni الحمدِ لِلّه, Kelompok ini beralasan bahwa kata tersebut telah populer pada lisan orang Arab, sehingga seakan-akan keduanya merupakan satu-kesatuan. Lebih lanjut kelompok ini menyatakan bahwa bagi Arab sangat sulit bagi mereka untuk mengumpulkan bacaan Dhammah dan Kasrah ataupun sebaliknya apabila berada dalam satu kata. Oleh karena itu sebagai jalan keluarnya maka dibacalah kasrah. Hal ini terasa lebih sesuai dengan kebiasaan mereka.
4.      Dengan membaca rafa'  huruf lam-nya, yakni  الحمدُ لُلّهِ Kelompok ini beragumen bahwasannya bacaan itu sesuai dengan kebanyakan nama Arab yang pada kata tersebut terkumpul dua dhammah, seperti kata الحُلُم والعُقُ
Pada bagian lain dalam kitab Tafsirnya al-Farra' menjelaskan di antara kebiasaan orang Arab adalah menjadikan dua kata seakan-akan satu kata apabila hal itu sering diucapkan. Orang Arab akan mengira bahwa dua kata tersebut merupakan satu-kesatuan. Seperti contoh orang Arab mengucapkan kata بِأَبَا  sebagai ganti dari kata  بِأَبِى.
وقوله تعالى: {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِم...}
بخفض "غيرِ" لأنها نعت للذين، لا للهاء والميم من "عليهم"
Kata غَيْرِ dibaca kasrah karena menjadi na'at dari kata الذين bukan na'at dari Ha dan Mim pada kata  عليهم.

وأما قوله تعالى: {وَلاَ الضَّآلِّينَ...}
فإن معنى "غير" معنى "لا" فلذلك رُدّت عليها "ولا". هذا كما تقول: فلان غير محسن ولا مُجْمِل؛ فإِذا كانت "غير" بمعنى سوى لم يجز أن تُكَرَّ عليها "لا"؛ ألا ترى أنه لا يجوز: عندى سوى عبد الله ولا زيد.
Kata "غير" dan "لا" mempunyai makna yang sama yakni bukan. Seperti contoh perkataanmu فلان غير محسن ولا مُجْمِل (Orang yang tidak baik dan juga tidak tampan). Apabila غير bermakna سوى (selain) maka tidak boleh ada pengulangan dengan menggunakan kata .لا[17]
D.    Kesimpulan dan Penutup
Dari pemaparan yang sudah dijelaskan penulis di atas, setidaknya ada beberapa kesimpulan yang bisa penulis jabarkan, antara lain :
-          Al-Farra’ merupakan sebuah julukan bagi Abu Zakariya Yahya Ibn Ziyad Ibn Abdillah. Nama al-Farra’ merupakan sebutan untuknya atas kepiawaian atau kecerdasannya dalam bidang bahasa.
-          Pada awalnya motif penyusunan kitab ini adalah untuk membahas isi dari nash-nash al-Qur’an yang sulit penafsirannya dan memerlukan perhatian lebih dalam pemahamannya. Kitab ini disusun karena permintaan dari salah seorang murid/sahabat beliau ‘Umar ibn Bakir yang secara kebetulan tidak bisa menjawab pertanyaan perihal al-Qur’an dari gubernur al-Hasan ibn Sahl. ‘Umar ibn Bakir meminta bantuan al-Farra’ menulis prinsip-prinsip penafsiran/buku rujukan yang dapat ia gunakan sebagai pegangan dalam menjawabnya. Hal ini ia lakukan karena al-Farra’ dirasa mumpuni dalam informasi mengenai idiom-idiom/istilah tertentu yang hanya dapat dianalisis oleh ahli bahasa sepertinya.
-          Titik bidik penafsiran al-Farra’ perlu untuk dipahami sebab kenyataannya tidak semua ayat dalam setiap surat al-Qur’an tidak ia tafsirkan. Dalam hal ini tampaknya al-Farra’ berupaya untuk tetap konsisten dengan desain yang dirancangnya dalam pernyataannya yang pertama yakni pernyataan yang lebih tepat dianggap sebagai pemberian nama atas karyanya ini. Dalam pernyataan tersebut tersirat tujuan al-Farra’ dengan karyanya ini dalam rangka memberikan uraian pemecahan problem I’rab al-Qur’an di samping pemaknaannya.

Daftar Pustaka
Ali an-Najjar, Muhammad, Najati. Ahmad Yusuf. Muqoddimah : Ma’anil Qur’an. juz I
Baidhowi, Ahmad. 2012. Studi Kitab Tafsir Klasik – Tengah. Yogyakarta: TH Press.
Al-Farra’. Ma’anil Qur’an juz I (pdf)
Mustaqim, Abdul. 2010. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS.
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir. Tangerang: Penerbit Lentera Hati.


[1] Muh. Ali an-Najjar dan Ahmad Yusuf Najatiy, Muqoddimah : Ma’anil Qur’an. juz I (pdf), hlm. 7
[2] Muh. Ali an-Najjar dan Ahmad Yusuf Najatiy, Muqoddimah …., hlm. 8
[3] Dr. Ahmad Baidhowi, Studi Kitab Tafsir Klasik – Tengah (Yogyakarta: TH Press, 2012), hlm. 5-6
[4] Muh. Ali an-Najjar dan Ahmad Yusuf Najatiy, Muqoddimah …., hlm. 9-10
[5] Muh. Ali an-Najjar dan Ahmad Yusuf Najatiy, Muqoddimah …., hlm. 10-11
[6] Muh. Ali an-Najjar dan Ahmad Yusuf Najatiy, Muqoddimah …., hlm. 12-13
[7] Dr. Ahmad Baidhowi, Studi Kitab Tafsir Klasik – Tengah…..,hlm. 9
[8] Dr. Ahmad Baidhowi, Studi Kitab Tafsir Klasik – Tengah…..,hlm. 10
[9] Al-Farra’, Ma’anil Qur’an juz I (pdf), hlm. 1
[10] Dr. Ahmad Baidhowi, Studi Kitab Tafsir Klasik – Tengah…..,hlm. 12
[11] Dr. Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 44
[12] Dr. Ahmad Baidhowi, Studi Kitab Tafsir Klasik – Tengah…..,hlm. 13-14
[13] Dr. Ahmad Baidhowi, Studi Kitab Tafsir Klasik – Tengah…..,hlm. 14-15
[14] Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2013), hlm. 378
[15] Dr. Ahmad Baidhowi, Studi Kitab Tafsir Klasik – Tengah…..,hlm. 15
[16] Al-Farra’, Ma’anil Qur’an juz I (pdf), hlm. 3-4
[17] Al-Farra’, Ma’anil Qur’an juz I(pdf), hlm. 7-8

5 komentar:

  1. Boleh tolong minta pdf kitab pdf muqoddimah maanil quran dan maanil quran karya al farra'....
    Atau cantumkan link donwload kitab pdf nya...

    Kirim ke g mail saya: ophanksiroz46@gmail.com

    BalasHapus
  2. Minta pdfnya dong buat presentasi

    BalasHapus
  3. Assalamualaikum
    Boleh minta tolong dikirimkan pdf kitab maanil quran karya al farra ke email saya.
    Sufirarahmi07@gmail .Com
    Terimakasih

    BalasHapus
  4. minta pdf kitab maani Alquran min kirim ke aghnuaurbaturrachman24017@gmail.com
    trimakasih

    BalasHapus
  5. Boleh kirim pdf nya min kirim ke tbub31111@gmail.com

    BalasHapus