Pages

Rabu, 23 Oktober 2013

Penelitian Singkat (Miniresearch) Tentang metode Turutan dan Iqra'



Al-Qur’an dan Sosial Budaya
Penelitian Tentang Metode Turutan dan Iqra’

Ditulis oleh :
Ramli Sa’bani (10530021)
Didik Saepuddin (11530054)
Abdullah Zahir (11530097)

JURUSAN TAFSIR HADIST
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ[1]
Artinya : “dari Utsman RA dari Nabi SAW bersabda: sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”.
Hadis riwayat Imam Bukhari di atas mungkin sering kita dengar sebagai salah satu hadis yang menginformasikan tentang pentingnya mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat tempat-tempat pendidikan al-Qur’an ataupun semacamnya yang salah satu tujuannya untuk dapat mengajari anak-anak usia dini agar bisa membaca al-Qur’an. Namun pada perkembangannya ada beberapa fenomena yang sering kita temui di berbagai sudut daerah manapun. Yakni, perihal metode pembelajaran al-Qur’an yang variatif, semisal yang mungkin pernah kita tahu yakni metode Iqra’ dan Turutan.
Berkaitan mengenai fenomena perihal perbedaan ataupun  macam-macam metode al-Qur’an yang digunakan oleh para pengajar al-Qur’an saat ini, maka kami memiliki inisiatif untuk kemudian mengadakan sebuah mini-research terkait fakta tersebut. Dengan tujuan agar mampu menggali beberapa informasi penting yang mungkin bisa kita dapatkan guna menjelaskan fenomena tersebut sesuai dengan data-data yang kami dapatkan dari wawancara dan penjelasan informan yang kami temui sebagai salah satu pengajar (pengguna) salah satu metode pembelajaran al-Qur’an yang akan dijadikan kajian pada makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
Untuk mempermudah dan menspesifikkan kajian ini, kami membuat beberapa rumasan masalah yang akan kami jadikan pembahasan :
1.      Apa alasan penggunaan metode Iqra’ ataupun Turutan ?
2.      Bagaimana Praktik Pengajaran al-Qur’an dengan Metode Turutan dan Iqra’ ?
3.      Apa Makna Pengajaran al-Qur’an dengan turutan dan iqra’ ?

C.    Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui alasan penggunaan metode Iqra’ ataupun Turutan
2.      Mengetahui sistem pengajaran masing-masing metode tersebut
3.      menganalisa fenomena tersebut melalui pendekatan teori sosial



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sumber Data dan Informan
a)      Metode Turutan
·         Nama               : Siti Muyassarotul Hafidhah
·         Tempat            : Madrasah Diniyah “KRAPYAK” (Yayasan Kodama)
·         Alamat                        : Jl. KH. Ali Maksum 04 Krapyak Kulon, Panggungharjo Sewon Bantul
b)      Metode Iqra’
·         Nama               : Suwanto
·         Tempat            : TPA “At-Tauhid”
·         Alamat                        : Jl. Demangan Kidul GK I/79

B.     Deskripsi Penelitian
a.      Metode Turutan
Untuk mendapatkan informasi mengenai alasan penggunaan metode turutan dalam pembelajaran al-Qur’an, kami memutuskan untuk mengadakan penelitian di madin (madrasah diniyah) krapyak atas informasi dari beberapa teman yang mondok di krapyak. Madin merupakan salah satu tempat pembelajaran al-Qur’an yang dinaungi oleh pondok krapyak bagi anak-anak usia dini. Di tempat tersebut kami menemui Mbak Siti Muyassarotul Hafidhah Sebagai informan untuk kami wawancarai seputar penggunaan metode turutan. Dalam wawancara tersebut kami menanyakan beberapa alasan mengapa menggunakan turutan dan bukan iqra’. Awalnya beliau mulai menerangkan tentang keheranan beliau ketika mengajar di sana pada tahun 2009 mendengar anak SD kelas 6 masih belum bisa baca padahal sudah sampai pada jilid VI Iqra’ dan metode tersebut terus digunakan sampai tahun 2011. Namun, seiring berjalannya waktu dan melihat tidak adanya perkembangan kemampuan membaca huruf-huruf arab (al-Qur’an) bagi para murid maka atas permasalahan ini beliau mengambil inisiatif untuk mengusulkan agar diajarkan baca al-Qur’an dengan metode turutan pada pertengahan 2011 sampai 2013 dan mendapat kemajuan serta perubahan yang diinginkan dalam mengasah kemampuan membaca para murid-murid tersebut. Namun, beliau mengatakan ada pula beberapa kelemahan pengajaran dengan menggunakan turutan yakni terkadang para murid sering menghafalkan huruf sehingga seolah-olah lancar. Namun, untuk menyikapi hal tersebut maka beliau mengambil inisiatif untuk memberikan sedikit test setelah setoran dengan menyuruh si murid mencari huruf yang disebutkan. Dan hal tersebut menjadi cara efektif agar mampu mengukur kemampuan si murid dalam mengetahu setiap huruf serta cara membacanya.
Pada permasalahan mengenai perbedaan antara turutan dan iqra’ yang kami tanyakan kepada informan, beliau berpedapat bahwa :
“ya kalo turutan itu lebih efektif mas soalnya kan diawal para murid lebih dulu diperkenalkan berbagai macam huruf dan seterusnya itu selalu diulang-ulang sehingga tidak gampang lupa, sedangkan kalau metode iqra’ yang pernah saya tahu ya perkenalannya terpisah-pisah dan berjilid-jilid sehingga bagi para murid yang mungkin kurang cakap dalam menangkap huruf jadi tidak paham.”
Lantas kemudian bagaimana jika murid tidak lancar dalam membaca mbak ?”
“ ya kan kalau dalam turutan itu titik tekannya diawal pada waktu perkenalan huruf itu mas jika murid belum benar-benar lancar dan tahu maka murid tersebut tetap harus mengulang dan tidak boleh melanjutkan pada tahap berikutnya meskipun terkadang mereka sering mengeluh karena tidak boleh ke tahap berikutnya, sehingga terkadang mereka sering meminta berhenti dan mengadu pada orang tuanya. Tapi, kami kemudian menjelaskan kepada para orang tua mereka mengenai kemampuan anaknya sehingga mereka bisa memaklumi.”
Di TPA tempat kami meneliti tersebut (Madin) ada pula beberapa bagian kelas bagi para murid untuk pembagian sistem pembelajaran yang berbeda-beda :
1.      Kelas Ula                 : para murid di kelas ini yakni anak-anak TK dan kelas 1 SD
Ø  Sistem pembelajaran bagi kelas ini sama halnya dengan TPA anak-anak dan sistemnya pengenalan huruf yakni bertahap setiap 1 huruf harus mampu dipahami, dan memberi pertanyaan mengenai huruf-huruf yang sudah diajarkan.
2.      Kelas Wusto             : pada kelas ini sebenarnya dibagi dalam 2 kelas yakni A dan B, 
  dan masalah sistemnya yakni sorogan. Hanya dibedakan tingkat 
  kelasnya agar lebih bisa dipantau perkembangannya.
Ø  Wusto A    : anak kelas 2-3 SD
Ø  Wusto B    : anak kelas 4-6 SD
Di atas ada pula beberapa kelas lain diluar anak SD yakni SMP namun tidak dimasukkan dalam beberapa kelas tersebut karena mempertimbangkan ada yang malu jika disamakan. Dalam teknisnya pula kami gambarkan dengan singkat di bawah ini :
·         Jadwal mengaji           : Setiap Sore hari jam 16.00-17.30 WIB, kecuali jum’at (libur)
·         Teknis mengaji            : membaca do’a belajar dan Asma’ al-Husna bersama-sama,
  memberikan materi agama, seperti : tajwid, aqidah 
  akhlaq, dsb, membaca do’a setelah belajar kemudian mengaji.
·         Bagi yang khatam       : mengulang lagi turutan namun bukan dari depan yakni hanya
  juz ‘amma saja.

b.      Metode Iqra’
Selanjutnya dalam penelitian penggunaan metode iqra’ dalam pembelajaran al-Qur’an. Kami mengambil TPA At-Tauhid untuk dijadikan sebagai obyek penelitian kami. Dalam wawancara tersebut kami menanyakan pertanyaan yang sama halnya dengan turutan namun dengan kebalikannya yakni alasan menggunakan iqra’ dan bukan menggunakan turutan. Beliau memulai sedikit asal-muasal TPA yang mulai dibentuk pada tahun 2005 meskipun masjid tempat TPA itu terlaksana sudah dibangun sejak tahun 2000. Sejak awal dibentuknya TPA itu memang sudah menggunakan iqra’ dan beliau merupakan penerus / direktur TPA yang ke 4 sampai sekarang. Mendengar keterangan tersebut peneliti kemudian langsung menanyakan pendapat beliau mengenai iqra’ dan turutan. Kemudian beliau menjawab :
“iqra’ itu mas lebih praktis daripada turutan, dan metode iqra’ itu lebih sistematik mas, jadi kita bisa memantau perkembangan murid dalam membaca. Dan di sini itu setorannya satu per satu berbeda dengan turutan. Setahu saya turutan itu kebanyakan sistemnya itu hafalan jadi santri itu kebanyakan hafal bukan tahu hurufnya langsung. Nah di iqra’ selain belajar baca santri juga disuguhkan buku iqra’ yang dibuat agar santri juga bisa menulis huruf tersebut. Dan lagi mas kalo di iqra’ itu kan metodenya lebih modern sedangkan turutan  itu kan sudah metode yang lama, jadi bagi saya iqra’ itu lebih pas untuk diajarkan di zaman sekarang, Ustad As’ad Humam (perintis iqra’) itu saya pikir metode yang beliau gunakan itu lebih memudahkan bagi para murid dalam belajar al-Qur’an.”  
Setelah kami menanyakan hal tersebut, kemudian kami juga mempertanyakan pendapat beliau berkenaan dengan kualitas antara pengguna iqra’ dan turutan ?”
“anak yang menggunakan iqra’ itu mas ngajinya lebih pas soalnya didalam iqra’ itu kan dibagi beberapa jilid dengan pengajaran yang berbeda-beda dan sistematik sesuai aturan, di iqra’ pada jilid-jilid terakhir itu ada diajarkan tajwid, jadi lebih paham dan terarah.”
·         Jadwal mengaji           : Senin, Rabu, dan Jum’at. Jam 16.30-Maghrib dan shalat
berjama’ah dan setelah maghrib juga ada acara mengaji bagi   yang mau
·         Teknis mengaji            : sebelum mengaji memaca surat al-Fatihah, do’a belajar, dan
  setelah mengaji membaca do’a setelah belajar
C.    Analisis Fenomena
dari beberapa deskripsi mengenai fenomena yang kami teliti di atas. Kami mencoba untuk meninjau hal tersebut dengan menggunakan teori sosial Peter Barger dan Luckman dengan teorinya Pelembagaan Sosial :
1.      Faktor Eksternalisasi            : dari wawancara kami dengan data primer serta data sekunder yang tidak kami tuliskan ada beberapa faktor yang membuat mereka (para informan) menggunakan salah satu metode pembelajaran al-Qur’an tersebut yakni salah satunya pengalaman mereka. Sebab semasa mengaji mereka hanya mengikuti metode yang ada di lingkungan mereka, Semisal contoh            : Pengajar iqra’ (informan) beliau sejak kecil disekolahkan dan diajarkan untuk bisa baca al-Qur’an dengan di tempatkan di TPA di sekitar lingkungan rumah beliau oleh kedua orang tua beliau, meskipun orang tua beliau dulunya belajar al-Qur’an dengan turutan. Dan hal tersebut disebabkan karena faktor lingkungan tempat beliau tinggal banyak dan lebih umum menggunakan iqra’ dalam pembelajaran al-Qur’an. Namun hal tersebut justru bagi beliau lebih memudahkan sepanjang sepengetahuan beliau tentang metode turutan. Yang menurutnya kurang memberi kemudahan dan tidak tersistematis sesuai kemampuan si murid. Berbeda dengan pengajar turutan (informan) yang beliau sendiri sebenarnya memang hidup dilingkungan rumahnya lebih banyak dan umum diajarkan turutan. Hingga sampai pada pendidikan beliau SMP-SMA yang nyantri di pondok pesantren yang pengajaran al-Qur’annya dengan menggunakan metode turutan. Namun ketika beliau menjadi pengajar di TPA krapyak yang pada awalnya diajarkan iqra, beliau mulai merasakan perbedaan kualitas daripada murid yang diajarkan iqra’ dan turutan yang pernah beliau alami. Sehingga kemudian beliau mengusulkan untuk mulai diajarkan turutan saja dan ternyata hasilnya lebih memuaskan. Karena santri lebih cepat dalam mengingat huruf dan lebih efisien.
2.      Obyektifikasi                       : dari pengalaman yang mengaji menggunakan salah satu metode tersebut karena faktor lingkungan tempat mengaji maka kemudian setelah berjalannya waktu mereka kemudian mampu melihat dan menilai beberapa hasil yang terlihat ketika menggunakan metode tersebut.
-          Informan turutan            : melihat beberapa anak didik yang sudah menyelesaikan iqra’ sampai jilid terakhir tapi tidak mampu membaca al-Qur’an “besar” dengan baik bahkan masih ada beberapa anak pula yang lupa hurufnya dan kesulitan ketika membaca ayat yang bersambung. Sehingga mengambil inisiatif untuk mengajarkan turutan yang ternyata lebih memuaskan hasilnya.
-          Informan iqra’               : berdasarkan pengalaman beliau yang melihat bahwa sistem pengajaran dengan metode turutan tidak atau kurang mampu mencetak seorang qori’ al-Qur’an yang paham ilmu al-Qur’an semisal tajwid dsb. Dan membacanya pun kurang bagus.
3.      Internalisasi                          : dari penilaian tersebut maka kemudian mereka menjadikan metode tersebut sebagai sebuah acuan dalam pengembangan kemampuan membaca al-Qur’an bagi para murid ataupun orang di sekitarnya yang ia ajarkan.
Dari analisa yang sudah kami paparkan di atas. Kami ingin mencoba kembali untuk menggunakan teori Karl Manhein tentang Perilaku dan Makna. Namun, kami tidak menggunakan keseluruhan teori tersebut melainkan hanya akan mencoba menganalisa dengan menggunakan makna expressive yang kami dapatkan dari wawancara kami dengan para informan tersebut yang kami bungkus dalam proses pembenaran dalam menggunakan metode tersebut :
1.      Tradisi Religious      : pada tahap ini yang kami pahami yakni ketika kami mewancarai informan turutan yang pada awalnya sebenarnya beliau hanya mengikuti tradisi pembelajaran al-Qur’an yang ada di TPA tersebut yakni menggunakan iqra’. Namun lambat laun dengan melihat perkembangan dan hasil pembelajaran bagi anak didik yang kurang memuaskan maka beliau mengambil inisiatif untuk mencari hal yang lebih ideal atau tepat untuk anak didiknya yakni turutan yang menurut beliau lebih baik.
2.      Tradisi Material        : pada tahap ini kami memasukkan informan iqra’ sebagai pelaku yang hanya melanjutkan tradisi. Sebab memang pada dasarnya TPA yang beliau tangani sudah mengajarkan iqra’ sedari awal TPA tersebut dibangun dan beliau merupakan pengurus generasi ke-empat dan sengaja kami mencoba untuk menanyakan alasan diajarkan iqra’, jawaban yang pertama kali keluar dari beliau yakni bahwa beliau hanya meneruskan tradisi yang ada. Kemudian beliau mulai menjelaskan keunggulan iqra’ dibanding turutan.
3.      Tradisi Symbolic      : pada tahap ini kami tidak menemukan alasan ataupun data yang tepat terkait dengan bagian ini dari data primer yang kami teliti. Namun dari data sekunder yang kami dapatkan dari pengalaman salah satu dari kami mendapati bahwa ada nilai symbolis yang menjembatani seorang anak yang ngaji turutan dan iqra’. Yakni bahwa santri turutan itu dari keluarga yang kurang mampu, sedangkan santri iqra’ dari keluarga yang mampu dan berkecukupan. Sebab belajar turutan itu gratis dan tempatnya apa adanya, lesehan dan tidak seragam pakaianya. Sedangkan ngaji iqra’ punya banyak fasilitas yang menghibur dan tempatnya lebih layak dan duduk di kursi dan sistem pembelajarannya seperti sekolah formal sedangkan turutan sistemnya sorogan. Jika boleh disingkat ada strata sosial yang menjembatani antara santri turutan dan iqra’.


[1] Imam Bukhari, Kitab Keutamaan al-Qur’an (Software Lidwa Hadis 9 Imam), no. Hadis 4639

0 komentar:

Posting Komentar