Al-Qur’an dan Sosial Budaya
Penelitian Tentang Metode Turutan dan
Iqra’
Ditulis oleh :
Ramli
Sa’bani
(10530021)
Didik
Saepuddin (11530054)
Abdullah Zahir (11530097)
JURUSAN TAFSIR HADIST
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI
AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
عَنْ
عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ[1]
Artinya : “dari
Utsman RA dari Nabi SAW bersabda: sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari
al-Qur’an dan mengajarkannya”.
Hadis riwayat
Imam Bukhari di atas mungkin sering kita dengar sebagai salah satu hadis yang
menginformasikan tentang pentingnya mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat tempat-tempat pendidikan
al-Qur’an ataupun semacamnya yang salah satu tujuannya untuk dapat mengajari
anak-anak usia dini agar bisa membaca al-Qur’an. Namun pada perkembangannya ada
beberapa fenomena yang sering kita temui di berbagai sudut daerah manapun.
Yakni, perihal metode pembelajaran al-Qur’an yang variatif, semisal yang
mungkin pernah kita tahu yakni metode Iqra’ dan Turutan.
Berkaitan
mengenai fenomena perihal perbedaan ataupun
macam-macam metode al-Qur’an yang digunakan oleh para pengajar al-Qur’an
saat ini, maka kami memiliki inisiatif untuk kemudian mengadakan sebuah mini-research
terkait fakta tersebut. Dengan tujuan agar mampu menggali beberapa
informasi penting yang mungkin bisa kita dapatkan guna menjelaskan
fenomena tersebut sesuai dengan data-data yang kami dapatkan dari wawancara dan
penjelasan informan yang kami temui sebagai salah satu pengajar (pengguna)
salah satu metode pembelajaran al-Qur’an yang akan dijadikan kajian pada
makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Untuk
mempermudah dan menspesifikkan kajian ini, kami membuat beberapa rumasan
masalah yang akan kami jadikan pembahasan :
1.
Apa alasan penggunaan metode Iqra’ ataupun
Turutan ?
2.
Bagaimana Praktik Pengajaran al-Qur’an dengan
Metode Turutan dan Iqra’ ?
3.
Apa Makna Pengajaran al-Qur’an dengan turutan
dan iqra’ ?
C.
Tujuan
Penelitian
1.
Mengetahui alasan penggunaan metode Iqra’ ataupun
Turutan
2.
Mengetahui sistem pengajaran masing-masing metode
tersebut
3.
menganalisa fenomena tersebut melalui
pendekatan teori sosial
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sumber Data dan
Informan
a)
Metode Turutan
·
Nama :
Siti Muyassarotul Hafidhah
·
Tempat :
Madrasah Diniyah “KRAPYAK” (Yayasan Kodama)
·
Alamat :
Jl. KH. Ali Maksum 04 Krapyak Kulon, Panggungharjo Sewon Bantul
b)
Metode Iqra’
·
Nama :
Suwanto
·
Tempat :
TPA “At-Tauhid”
·
Alamat :
Jl. Demangan Kidul GK I/79
B. Deskripsi
Penelitian
a.
Metode Turutan
Untuk
mendapatkan informasi mengenai alasan penggunaan metode turutan dalam
pembelajaran al-Qur’an, kami memutuskan untuk mengadakan penelitian di madin
(madrasah diniyah) krapyak atas informasi dari beberapa teman yang mondok di
krapyak. Madin merupakan
salah satu tempat pembelajaran al-Qur’an yang dinaungi oleh pondok krapyak bagi
anak-anak usia dini. Di tempat tersebut kami menemui Mbak Siti Muyassarotul
Hafidhah Sebagai informan untuk kami wawancarai seputar penggunaan metode
turutan. Dalam wawancara tersebut kami menanyakan beberapa alasan mengapa
menggunakan turutan dan bukan iqra’. Awalnya beliau mulai menerangkan tentang
keheranan beliau ketika mengajar di sana pada tahun 2009 mendengar anak SD
kelas 6 masih belum bisa baca padahal sudah sampai pada jilid VI Iqra’ dan
metode tersebut terus digunakan sampai tahun 2011. Namun, seiring berjalannya waktu dan
melihat tidak adanya perkembangan kemampuan membaca huruf-huruf arab
(al-Qur’an) bagi para murid maka atas permasalahan ini beliau mengambil
inisiatif untuk mengusulkan agar diajarkan baca al-Qur’an dengan metode turutan
pada pertengahan 2011 sampai 2013 dan mendapat kemajuan serta perubahan yang
diinginkan dalam mengasah kemampuan membaca para murid-murid tersebut. Namun,
beliau mengatakan ada pula beberapa
kelemahan pengajaran dengan
menggunakan turutan yakni terkadang para murid sering menghafalkan huruf
sehingga seolah-olah lancar. Namun, untuk menyikapi hal tersebut maka beliau
mengambil inisiatif untuk memberikan sedikit test setelah setoran dengan
menyuruh si murid mencari huruf yang disebutkan. Dan hal tersebut menjadi cara
efektif agar mampu mengukur kemampuan si murid dalam mengetahu setiap huruf
serta cara membacanya.
Pada
permasalahan mengenai perbedaan antara turutan dan iqra’ yang kami tanyakan
kepada informan, beliau berpedapat bahwa :
“ya kalo
turutan itu lebih efektif mas soalnya kan diawal para murid lebih dulu
diperkenalkan berbagai macam huruf dan seterusnya itu selalu diulang-ulang
sehingga tidak gampang lupa,
sedangkan kalau
metode iqra’ yang pernah saya tahu ya perkenalannya terpisah-pisah dan berjilid-jilid sehingga
bagi para murid yang mungkin kurang cakap dalam menangkap huruf jadi tidak
paham.”
Lantas kemudian
bagaimana jika murid tidak lancar dalam membaca mbak ?”
“ ya kan kalau dalam turutan
itu titik tekannya diawal pada waktu perkenalan huruf itu mas jika murid belum
benar-benar lancar dan tahu maka murid tersebut tetap harus mengulang dan tidak
boleh melanjutkan pada tahap berikutnya meskipun terkadang mereka sering
mengeluh karena tidak boleh ke tahap berikutnya, sehingga terkadang
mereka sering meminta berhenti dan mengadu pada orang tuanya. Tapi, kami
kemudian menjelaskan kepada para orang tua mereka mengenai kemampuan anaknya
sehingga mereka bisa memaklumi.”
Di TPA tempat
kami meneliti tersebut (Madin) ada pula beberapa
bagian kelas bagi para murid untuk pembagian sistem pembelajaran yang
berbeda-beda :
1.
Kelas Ula :
para murid di kelas ini yakni anak-anak TK dan kelas 1 SD
Ø Sistem
pembelajaran bagi kelas ini sama halnya dengan TPA anak-anak dan sistemnya
pengenalan huruf yakni bertahap setiap 1 huruf harus mampu dipahami, dan
memberi pertanyaan mengenai huruf-huruf yang sudah diajarkan.
2.
Kelas Wusto :
pada kelas ini sebenarnya dibagi dalam 2 kelas yakni A dan B,
dan
masalah sistemnya yakni sorogan. Hanya dibedakan tingkat
kelasnya agar lebih bisa dipantau perkembangannya.
Ø Wusto A : anak kelas 2-3 SD
Ø Wusto B : anak kelas 4-6 SD
Di atas ada pula beberapa
kelas lain diluar anak SD yakni SMP namun tidak dimasukkan dalam beberapa kelas
tersebut karena mempertimbangkan ada yang malu jika disamakan. Dalam teknisnya
pula kami gambarkan dengan singkat di bawah ini :
·
Jadwal mengaji :
Setiap Sore hari jam 16.00-17.30 WIB, kecuali jum’at (libur)
·
Teknis mengaji :
membaca do’a belajar dan Asma’ al-Husna bersama-sama,
memberikan materi agama, seperti : tajwid, aqidah
akhlaq,
dsb, membaca do’a setelah belajar kemudian mengaji.
·
Bagi yang khatam : mengulang lagi turutan namun bukan dari depan yakni hanya
juz ‘amma
saja.
b.
Metode Iqra’
Selanjutnya
dalam penelitian penggunaan metode iqra’ dalam pembelajaran al-Qur’an. Kami
mengambil TPA At-Tauhid untuk dijadikan sebagai obyek penelitian kami. Dalam
wawancara tersebut kami menanyakan pertanyaan yang sama halnya dengan turutan
namun dengan kebalikannya yakni alasan menggunakan iqra’ dan bukan menggunakan
turutan. Beliau memulai sedikit asal-muasal TPA yang mulai dibentuk pada tahun
2005 meskipun masjid tempat TPA itu terlaksana sudah dibangun sejak tahun 2000.
Sejak awal dibentuknya TPA itu memang sudah menggunakan iqra’ dan beliau
merupakan penerus / direktur TPA yang ke 4 sampai sekarang. Mendengar
keterangan tersebut peneliti kemudian langsung menanyakan pendapat beliau
mengenai iqra’ dan turutan. Kemudian beliau menjawab :
“iqra’ itu mas lebih
praktis daripada turutan, dan metode iqra’ itu lebih sistematik mas, jadi kita
bisa memantau perkembangan murid dalam membaca. Dan di sini itu setorannya satu
per satu berbeda dengan turutan. Setahu saya turutan itu kebanyakan sistemnya
itu hafalan jadi santri itu kebanyakan hafal bukan tahu hurufnya langsung. Nah
di iqra’ selain belajar baca santri juga disuguhkan buku iqra’ yang dibuat agar
santri juga bisa menulis huruf tersebut. Dan lagi mas kalo di iqra’ itu kan
metodenya lebih modern sedangkan turutan itu kan
sudah metode yang lama, jadi bagi saya iqra’ itu lebih pas untuk diajarkan di
zaman sekarang, Ustad As’ad Humam (perintis iqra’) itu saya pikir metode yang
beliau gunakan itu lebih memudahkan bagi para murid dalam belajar al-Qur’an.”
Setelah kami
menanyakan hal tersebut, kemudian kami juga mempertanyakan pendapat beliau
berkenaan dengan kualitas antara pengguna iqra’ dan turutan ?”
“anak yang
menggunakan iqra’ itu mas ngajinya lebih pas soalnya didalam iqra’ itu kan
dibagi beberapa jilid dengan pengajaran yang berbeda-beda dan sistematik sesuai
aturan, di iqra’ pada jilid-jilid terakhir itu ada diajarkan tajwid, jadi lebih
paham dan terarah.”
·
Jadwal mengaji :
Senin, Rabu, dan Jum’at. Jam 16.30-Maghrib dan shalat
berjama’ah dan setelah maghrib juga ada acara
mengaji bagi yang mau
·
Teknis mengaji :
sebelum mengaji memaca surat al-Fatihah, do’a belajar, dan
setelah
mengaji membaca do’a setelah belajar
C. Analisis
Fenomena
dari beberapa
deskripsi mengenai fenomena yang kami teliti di atas. Kami mencoba untuk
meninjau hal tersebut dengan menggunakan teori sosial Peter Barger dan Luckman
dengan teorinya Pelembagaan Sosial :
1.
Faktor Eksternalisasi : dari wawancara kami dengan data primer serta data
sekunder yang tidak kami tuliskan ada beberapa faktor yang membuat mereka (para
informan) menggunakan salah satu metode pembelajaran al-Qur’an tersebut yakni salah
satunya pengalaman mereka. Sebab semasa mengaji mereka hanya mengikuti metode
yang ada di lingkungan mereka, Semisal contoh :
Pengajar iqra’ (informan) beliau sejak kecil disekolahkan dan diajarkan
untuk bisa baca al-Qur’an dengan di tempatkan di TPA di sekitar lingkungan
rumah beliau oleh kedua orang tua beliau, meskipun orang tua beliau dulunya
belajar al-Qur’an dengan turutan. Dan hal tersebut disebabkan karena
faktor lingkungan tempat beliau tinggal banyak dan lebih umum menggunakan iqra’
dalam pembelajaran al-Qur’an. Namun hal tersebut justru bagi beliau lebih
memudahkan sepanjang sepengetahuan beliau tentang metode turutan. Yang menurutnya
kurang memberi kemudahan dan tidak tersistematis sesuai kemampuan si murid.
Berbeda dengan pengajar turutan (informan) yang beliau sendiri
sebenarnya memang hidup dilingkungan rumahnya lebih banyak dan umum diajarkan turutan.
Hingga sampai pada pendidikan beliau SMP-SMA yang nyantri di pondok
pesantren yang pengajaran al-Qur’annya dengan menggunakan metode turutan. Namun ketika beliau
menjadi pengajar di TPA krapyak yang pada awalnya diajarkan iqra, beliau
mulai merasakan perbedaan kualitas daripada murid yang diajarkan iqra’ dan
turutan yang pernah beliau alami. Sehingga kemudian beliau mengusulkan
untuk mulai diajarkan turutan saja dan ternyata hasilnya lebih
memuaskan. Karena santri lebih cepat dalam mengingat huruf dan lebih efisien.
2.
Obyektifikasi :
dari pengalaman yang mengaji menggunakan salah satu metode tersebut karena
faktor lingkungan tempat mengaji maka kemudian setelah berjalannya waktu mereka
kemudian mampu melihat dan menilai beberapa hasil yang terlihat ketika
menggunakan metode tersebut.
-
Informan turutan : melihat beberapa anak didik yang sudah
menyelesaikan iqra’ sampai jilid terakhir tapi tidak mampu membaca
al-Qur’an “besar” dengan baik bahkan masih ada beberapa anak pula yang lupa
hurufnya dan kesulitan ketika membaca ayat yang bersambung. Sehingga mengambil
inisiatif untuk mengajarkan turutan yang ternyata lebih memuaskan
hasilnya.
-
Informan iqra’ : berdasarkan pengalaman beliau yang melihat bahwa
sistem pengajaran dengan metode turutan tidak atau kurang mampu mencetak
seorang qori’ al-Qur’an yang paham ilmu al-Qur’an semisal tajwid dsb. Dan
membacanya pun kurang bagus.
3.
Internalisasi :
dari penilaian tersebut maka kemudian mereka menjadikan metode tersebut sebagai
sebuah acuan dalam pengembangan kemampuan membaca al-Qur’an bagi para murid
ataupun orang di sekitarnya yang
ia ajarkan.
Dari analisa
yang sudah kami paparkan di atas. Kami ingin mencoba kembali untuk menggunakan
teori Karl Manhein tentang Perilaku dan Makna. Namun, kami tidak menggunakan
keseluruhan teori tersebut melainkan hanya akan mencoba menganalisa dengan
menggunakan makna expressive yang kami dapatkan dari wawancara kami
dengan para informan tersebut yang kami bungkus dalam proses pembenaran dalam
menggunakan metode tersebut :
1.
Tradisi Religious : pada tahap ini yang kami pahami yakni ketika kami mewancarai
informan turutan yang pada awalnya sebenarnya beliau hanya mengikuti
tradisi pembelajaran al-Qur’an yang ada di TPA tersebut yakni menggunakan iqra’.
Namun lambat laun dengan melihat perkembangan dan hasil pembelajaran bagi
anak didik yang kurang memuaskan maka beliau mengambil inisiatif untuk mencari
hal yang lebih ideal atau
tepat untuk anak didiknya yakni turutan yang menurut beliau lebih baik.
2.
Tradisi Material : pada tahap ini kami memasukkan informan iqra’ sebagai
pelaku yang hanya melanjutkan tradisi. Sebab memang pada dasarnya TPA yang
beliau tangani sudah mengajarkan iqra’ sedari awal TPA tersebut dibangun
dan beliau merupakan pengurus generasi ke-empat dan sengaja kami mencoba untuk
menanyakan alasan diajarkan iqra’, jawaban yang pertama kali keluar dari
beliau yakni bahwa beliau hanya meneruskan tradisi yang ada. Kemudian beliau
mulai menjelaskan keunggulan iqra’ dibanding turutan.
3.
Tradisi Symbolic : pada tahap ini kami tidak menemukan alasan ataupun data yang
tepat terkait dengan bagian ini dari data primer yang kami teliti. Namun dari
data sekunder yang kami dapatkan dari pengalaman salah satu dari kami mendapati
bahwa ada nilai symbolis yang menjembatani seorang anak yang ngaji turutan dan
iqra’. Yakni bahwa santri turutan itu dari keluarga yang kurang
mampu, sedangkan santri iqra’ dari keluarga yang mampu dan berkecukupan.
Sebab belajar turutan itu gratis dan tempatnya apa adanya, lesehan dan
tidak seragam pakaianya. Sedangkan ngaji iqra’ punya banyak fasilitas
yang menghibur dan tempatnya lebih layak dan duduk di kursi dan sistem
pembelajarannya seperti sekolah formal sedangkan turutan sistemnya
sorogan. Jika boleh disingkat ada strata sosial yang menjembatani antara santri
turutan dan iqra’.
0 komentar:
Posting Komentar