PENAFSIRAN CORAK TEOLOGIS-FALSASI
Abdullah Zahir
Ceppi Cahyadi
BAB I
A.
Pendahuluan
Tafsir al-Qur’an sebagai interpretasi terhadap teks al-Qur’an sudah
ada ataupun dimulai sejak zaman ketika Nabi Muhammad hidup hingga wafatnya
sampai saat ini. Dalam perjalanannya tafsir terhadap al-Qur’an mengalami
perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda dari masa ke masa. Adapun
Perkembangan tafsir secara epistemik dipetakan menjadi tiga era, yakni : era
tafsir dengan nalar quasi-kritis, era affirmatif dengan nalar ideologis, dan
era formatif dengan nalar kritis.[1]
Pada era affirmatif ini banyak bermunculan beberapa corak
penafsiran yang berbasis pada ideologi madzhab atau sekte keagamaan atau
keilmuan tertentu, yang kita tahu beberapa di antaranya yakni tafsir bercorak
fiqih, tasawuf, dan teologi-falsafi.
Dari beberapa corak penafsiran di era affirmatif tersebut kami
mencoba untuk membahas penafsiran yang bercorak teologi-falsafi berdasarkan
beberapa literatur yang membahasa tema terkait untuk bersama dikaji guna
menambah wawasan pengetahuan perihal tema tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Adapun beberapa sub-tema yang akan kita bahas pada makalah ini :
1.
Apa
pengertian, latar belakang munculnya dan karakteristik tafsir teologi-falsafi?
2.
Tokoh-tokoh
didalamnya dan Bagaimana contoh model penafsirannya ?
3.
Bagaimana
Pengaruh perbedaan Madzhab Teologis dalam penafsiran ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian , Latar Belakang Munculnya, dan Karakteristik corak
tafsir Tafsir Teologis-Falsafi
Ø Tafsir Corak Teologis
Tafsir corak teologis adalah satu bentuk penafsiran al-Qur’an yang
tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih
jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang
teologis tertentu.[2]
Sehingga dalam pembahasan model penafsiran ini lebih banyak membicarakan tema-tema teologis dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok
al-Qur’an.
Merujuk kepada sejarah munculnya corak tafsir teologis yang mana
merupakan golongan yang menggunakan ra’yu (akal), berkembang dikarenakan
ketidakpuasan terhadap pola penafsiran dengan bi al-ma’tsur salah
satunya pengikut Mu’tazilah yang kemudian melakukan perlawanan terhadap model
penafsiran bi al-ma’tsur yang dianggap tidak sejalan dengan akal.[3]
Kemudian dalam perkembangannya muncullah bias-bias nalar ideologi
dari beberapa aliran-aliran yang juga muncul pada waktu itu, seperti
Ahlussunah, Qadariah, Syi’ah, dan Khawarij. Sehingga kebenaran tafsir diukur
sesuai dengan aliran teolog tertentu dengan nalar epistemik sendiri-sendiri
dalam memahami al-Qur’an. Akibatnya, produk tafsir sedikit banyak juga
dipengaruhi oleh bayang-bayang ideologi
mereka.[4]
Manna’ al-Qaththan yang dalam permasalahan ini bisa dianggap tidak
sependepat dalam menanggapi corak penafsiran tersebut dengan mengatakan bahwa
menafsirkan al-Qur’an dengan berdarkan logikanya semata tidak sesuai dengan ruh
syari’at yang didasarkan pada nash-nashnya. Karena rasio tanpa disertai
bukti-bukti akan berakibat penyimpangan terhadap kitabullah. Kebanyakan orang
yang melakukan penafsiran demikian adalah penganut madzhab yang diantara mereka
ada yang menulis tafsirnya secara indah dengan menyisipkan pemikiran Madzhabnya.
dan diantara mereka ahli kalam (teolog) yang menakwilkan “ayat-ayat sifat”
dengan bingkai pemikiran Madzhabnya.[5]
Ø Tafsir Corak Falsafi
Tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Qur’an yang dikaitkan
dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi lebih banyak didominasi
oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya dan ketika menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an menggunakan teori-teori filsafat.[6]
Tafsir Falsafi berusaha menafsirkan
ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti
tafsir bi al-Ra`yi. Dalam hal ini
ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan
pemikiran yang menjustifikasi ayat. Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi,
ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa.
Secara historis,
keberadaan tafsir ini tidak bisa lepas dari terjadinya kontak dunia Islam
dengan pemikiran filsafat Yunani. Pemikiran filosofis masuk kedalam Islam
melalui filsafat Yunani yang dijumpai oleh ahli-ahli fikir Islam di Suria,
Mesopotamia, Persia, Persia, dan Mesir. Kebudayaan dan filsafat Yunani datang
ke daerah-daerah itu dengan ekspansi Alexander yang Agung ke Timur di abad
keempat sebelum Kristus. Politik Alexsander untuk menyatukan kebudayaan Yunani
dan Persia meninggalkan bekas besar di daerah-daerah yang pernah dikuasainya dan
kemudian timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur, seperti Alexsandria
di Mesir, Antioch di Suria, Jundisyapur di Mesopotamia dan Basra di Persia.[7]
Setelah kitab-kitab filsafat dari berbagai sumber di
dunia diterjemahkan ke dalam Bahasa arab dengan modifikasi-modifikasi tertentu,
akhirnya buku-buku terjemahan ini dapat dikonsumsi oleh sebagian kalangan kaum
muslim. Dari terjadinya kontak dengan pemikiran filsafat Yunani, kemudian
muncullah reaksi dan respons dari kalangan kaum muslim.
Pendekatan yang digunakan dalam tafsir falsafi adalah
penggunaan akal yang lebih dominan sehingga ayat-ayat yang ada dipahami dengan
rasio mufasir sendiri. Menanggapi hal ini umat Islam terbagi
menjadi dua kelompok, pertama golongan yang menolak dan yang menerima corak
tafsir ini.
Kelompok Pertama, mereka yang
menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof. Mereka
menolaknya karena menganggap bahwa antara filsafat dan agama adalah dua bidang
ilmu yang saling bertentangan sehingga tidak mungkin disatukan. Kelompok Kedua, mereka yang mengagumi
filsafat. Mereka menekuni dan menerima filsafat selama tidak bertentangan
dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha memadukan filsafat dan agama serta
menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya.[8]
Kelompok
yang mendukung tafsir dengan metode falsafi berpendapat bahwa antara falsafah
dengan agama Islam tidak ada pertentangan yang signifikan, sebab menurut mereka
pada dasrnya wahyu Allah Swt itu tidak bertentangan dengan akal. Untuk
mengkompromikan hal ini, pada gilirannya ditempuh dua cara. Pertama, dengan
cara mentakwilkan teks-teks keagamaan (al-Qur’an), sesuai dengan pandangan para
filosof. Artinya menundukkan maksud suatu teks kepada pandangan-pandangan
filsafat, agar sejalan dengan teori filsafat. Kedua, dengan cara
menjelaskan teks-teks keagamaan dengan menggunakan berbagai pandangan dan teori
filsafat. Kedua model inilah yang membentuk tafsir falsafi, yaitu tafsir
yang didominasi oleh teori-teori filsafat, atau tafsir yang menempatkan
teori-teori ini sebagai paradigmanya, sehingga tafsir semacam ini pada akhirnya
tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat.[9]
B.
Tokoh-tokohnya dan Contoh Penafsiran
Ø Tafsir Teologis
a.
Fakhruddin Ar-Razi
Ar-Razi diambil dari nama Muhammad bin Umar bin al-Hasan at-Tamimi
al-Bakri at-Tabaristani ar-Razi Fakhruddin, terkenal dengan Ibnu al-Khatib
Asy-Syafi’I al-Faqih.
Ilmu-ilmu Rasional sangat mendominasi pemikiran ar-Razi di dalam
tafsirnya, sehingga ia mencampuradukkan ke dalamnya berbagai kajian baik
mengenai kedokteran, logika, filsafat dan hikmah. Ini semua mengakibatkan
kitabnya keluar dari makna-makna yang dikandung al-Qur’an, spirit ayat-ayatnya,
menggiring ayat kepada persoalan-persoalan ilmu rasional dan terminologi
ilmiah.[10]
b.
Az-Zamakhsyari
Ia adalah Abu al-Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi
az-Zamakhsyari. Ia termasuk salah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’ani,
dan bayan. Bagi orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan
balaghah, tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab
az-Zamakhsyari sebagai hujjah. Ia adalah orang yang memiliki pendapat dan
argumentasi sendiri dalam pendapat orang lain yang hanya menghimpun dan
mengutip saja, tetapi mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya dan diikuti
orang lain.[11]
c.
Contoh Penafsiran
Ada contoh penafsirang yang mempertemukan perbedaan pendapat antara
ar-Razi sebagai perwakilan sunni dan Zamakhsyari sebagai perwakilan dari
Mu’tazili dalam penafsiran mengenai ayat tentang kemungkinan melihat Allah pada
surat al-Qiyamah : 23
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ.
Menurut al-Razi, sebagai perwakilan Sunni, klimat di atas menunjukkan taqdim
al-maf’ul yang bermakna khusus. Sehingga dia menafsiri bahwa di akhirat
kelak, umat muslim akan melihat kepada dzat Allah[12]. Sedangkan menurut Zamakhsyari, seorang Mu’tazli, kalimat itu bukanlah taqdim
al-maf’ul, melainkan adanya pentakdiran terhadap kata ni’mat. Begitu juga
dengan penjelasan kata “Nadzirah”menurut al-Razi kata itu berarti
“ru’yah”, sedangkan menurut Zamakhsyari berarti “al-Raja’”.[13]
Ø Tafsir Falsafi
a.
Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad al-Farabi
Al-Farabi
lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) di tahun 870 M. menurut
keterangan dia berasal dari Turki dan orang tuanya adalah seorang Jenderal, ia
sendiri pernah menjadi hakim. Dari Farab, ia kemudian pindah ke Baghdad, pusat
ilmu pengetahuan di waktu itu. Disana ia belajar kepada Bishr Matta Ibnu Yunus
(seorang penterjemah) dan tinggal di Baghdad selama 20 tahun. Kemudian ia
pindah ke Aleppo dan tinggal di istana Saif Al-Daulah berkonsentrasi tentang
ilmu pengetahuan dan filsafat diwaktu itu. Dalam umur 80 tahun Al-Farabi wafat
di Aleppo pada tahun 950 M[14].
Mengenai
pemikirannya, dia menafsirkan al-Qur’an dengan filsafat murni, suatu pemahaman
bahwa hakikat al-Qur’an sebagai simbol – simbol
dan isyarat – isyarat yang tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang dan tidak dapat
dimengerti oleh orang-orang yang nalarnya terbatas. Oleh karena itu menurutnya,
nabi menjelaskan dengan gaya bahasa yang sesuai dengan daya tangkap mereka,
yaitu dengan gaya bahasa inderawi demi kemaslahatan mereka meskipun tidak
sesuai dengan apa yang sebenarnya, dan itu menurut para filsuf tidak dianggap
sebagai suatu kebohongan[15].
Artinya adalah bahwa semua ayat - ayat
al-Qur’an menurut para filsuf harus di tafsir atau di takwil sesuai dengan
filsafat, sehingga mereka menetapkan bahwa alam akhirat adalah bersifat aqli
dan rohani, bukan jasmaniah. Atas dasar itulah mereka menolak konsep pemikiran
yang menyatakan adanya kebangkitan jasmani, mengingkari kelezatan jasmani di
surga dan penderitaan jasmani di neraka, sebagaimana yang dideskripsikan
al-Qur’an dan as-Sunah[16].
Diantara
penafsiran yang dilakukan oleh al-Farabi adalah penafsiran kata al-zhahir dan
kata al-bathin pada Q.S. Al-Hadid ayat 3:
uqèd ãA¨rF{$# ãÅzFy$#ur ãÎg»©à9$#ur ß`ÏÛ$t7ø9$#ur
(
uqèdur Èe@ä3Î/
>äóÓx« îLìÎ=tæ
ÇÌÈ
"Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan dia Maha
mengetahui segala sesuatu".
Penafsiran
al-farabi terhadap ayat ini bercorak platonik, yakni argumen Plato tentang
kekekalan alam. Oleh karena itu al-Farabi menafsirkan kepemulaan Allah dari
segi bahwa segala yang ada dan mengakibatkan adanya yang lain, itu semua adalah
berasal dari-Nya. Allah adalah yang pertama dari segi ada-Nya. Ia yang pertama
dari setiap waktu yang keberadaannya bergantung pada-Nya. telah ada waktu
ketika tidak ada sesuatu selain diri-Nya.[17]
b. Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibnu Sina.
Ibnu Sina lahir di Afsyana, suatu tempat yang
terletak di Bukhara tahun 980 M. Orang tuanya adalah sorang pegawai negeri atau
pegawai pemerintahan pada pemerintahan Dinasti samani. Menurut sejarah hidup
yang ditulis oleh muridnya – Jurjani – dari semenjak kecil Ibnu Sina telah
banyak mempelajari ilmu – ilmu pengetahuan yang ada di zamannya, seperti
fisika, matematika, kedokteran, hukum dan termasuk juga ilmu tafsir al-Qur’an.
Dia meninggapl di Isfahan, pada tahun 1037 M.
Mengenai pemikirannya tentang tafsir
al-Qur’an, sebenarnya tidak jauh beda dengan pendapat al-Farabi, yakni
menafsirkan al-Qur’an dengan penafsiran filsafat murni, karena kedua tokoh ini
sama-sama menganut paham filsafat Emanasi atau pancaran, hanya saja filsafat
emanasi yang diajukan oleh Ibnu Sina lebih mendalam, dalam artian makna yang
diungkapkannya lebih mendetail.
Contoh tafsir yang dilakukan Ibnu Sina adalah
penafsiran al-jannah (surga) sebagai alam akal, an-nar (neraka)
sebagai alam imajinasi, dan alam konkretnya adalah alam kubur. Sedangkan kata ash-shirath
diartikan sebagai jalan akal. Berikut adalah contoh penafsiran yang dilakukan
oleh Ibnu Sina, dalam menafsirkan surat an-Nur ayat 35 :
* ª!$#
âqçR
ÅVºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
4 ã@sWtB
¾ÍnÍqçR
;o4qs3ô±ÏJx.
$pkÏù
îy$t6óÁÏB
( ßy$t6óÁÏJø9$#
Îû
>py_%y`ã
( èpy_%y`9$#
$pk¨Xr(x.
Ò=x.öqx.
AÍhß
ßs%qã
`ÏB
;otyfx©
7p2t»t6B
7ptRqçG÷y
w 7p§Ï%÷°
wur
7p¨Î/óxî
ß%s3t
$pkçJ÷y
âäûÓÅÓã
öqs9ur
óOs9
çmó¡|¡ôJs?
Ö$tR
4 îqR
4n?tã
9qçR
3 Ïöku
ª!$#
¾ÍnÍqãZÏ9
`tB
âä!$t±o
4 ÛUÎôØour
ª!$#
@»sWøBF{$#
Ĩ$¨Y=Ï9
3 ª!$#ur
Èe@ä3Î/
>äóÓx«
ÒOÎ=tæ
ÇÌÎÈ
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada)
langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang
tak tembus yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan)
kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak
di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.”
Ibnu Sina mengatakan bahwa Nur mempunyai
makna ganda, denotatif dan konotatif. Makna denotatifnya adalah penerangan yang
sempurna, sedangkan makna konotatfnya adalah kebaikan dan faktor penyampai
kepada kebaikan. Makna yang dimaksudkan disini adalah kedua-duanya, yakni bahwa
alloh SWT adalah dzat yang maha baik dan penyebab dari semua kebaikan. Ungkapan
as-samawati wal-ardhi merupakan ungkapan dari universalitas. Kata misykat
(lentera) merupakan ungkapan dari akal material (al-aqlul-huyuli) dan
jiwa yang berakal. Karena misykat itu dekat dengan dinding, maka daya
pantulnya lebih kuat dan cahayanya lebih banyak. Demikian juga dengan akal,
sebenarnya menyerupai cahaya (nur).
Yang dilambangkan dengan misykat
(lentera) adalah akal material yang kaitannya dengan akal mustafad (acquired
intelect) adalah bagaikan kaitan misykat dengan cahaya. Sementara mishbah
(lampu) sebenarnya merupakan ungkapan dari akal mustafad itu sendiri.
Hubungan akal mustafad dengan akal material adalah seperti
hubungan mishbah dengan misykat.
Adapun kata fi zujajah (kaca),
ditafsirkan bahwa hubungan antara akal material dan akal mustafad pada
sisi lain adalah seperti hubungan yang terjadi antara penerang dan mishbah.
Hubungan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan perantara sumbu. Dari sumbu itu
muncul az-zujajah karena dia adalah penerang yang menerima cahaya[18].
C.
Pengaruh perbedaan Madzhab Teologis dalam penafsiran
al-Qur’an sangat kaya dengan makna. Al-Qur’an, menurut Sayyidina
Ali r.a., “ Hammalat Lil wujuh” (mengandung banyak arti), walaupun
redaksinya singkat. Al-Qur’an diibaratkan permata yang memancarkan aneka
cahaya, tergantung dari posisi tempat anda melihat. “bukannya pakar tafsir yang
tidak mampu menghidangkan aneka makna yang benar terhadap ayat-ayat al-Qur’an,”
begitu pandangan pakar al-Qur’an.[19]
Dari perbedaan penafsiran yang terjadi karena perbedaan suatu
madzhab ini tentunya menambah warna dari perkembangan tafsir. Ditengah
perdebatan penafsiran ini kita bisa mencermati lahirnya para intelektual
rasional meskipun sifatnya sektarian. Namun nilai penting yang lahir
dibelakangnya yakni berpikir kritis terhadap makna al-Qur’an untuk mendapatkan
kesimpulan yang lebih bisa dijadikan rujukan ataupun diinterpretasi ulang.
Oleh karenanya, kesadaran berpikir filosofis terhadap historisitas
munculnya aliran-aliran tafsir dari klasik, tengah sampai modern-kontemporer
menjadi sangat penting. Sebab kadang orang lupa bahwa al-Qur’an dalam bentuk
mushaf seperti yang ada sekarang ini ternyata merupakan bagian dari proses
sejarah. Demikian halnya, perbedaan aliran-aliran dalam pemikiran Islam, baik
dalam fikih, kalam tasawuf maupun tafsir. Hal itu merupakan bagian dari
dinamika sejarah pemikiran umat Islam yang sebetulnya tidak lain adalah karena
perbedaan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.[20]
BAB III
PENUTUP
Tafsir corak teologis adalah satu bentuk penafsiran al-Qur’an yang
tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih
jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang
teologis tertentu. Sehingga dalam pembahasan model penafsiran ini lebih
banyak membicarakan tema-tema teologis dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok
al-Qur’an.
Tafsir falsafi berati pernafsiran al-Qur’an
dengan menggunakan perserktif falsafah, yaitu tafsir yang didominasi oleh
teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir
falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori
filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan
menggunakan filsafat. Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan
persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori
filsafat.
Karakteristik yang paling menonjol dari 2 corak penafsiran di atas
yakni terletak pada penggunaan akal yang lebih aktif dalam memahami kandungan
ayat-ayat al-Qur’an yang sering kita kenal dengan istilah tafsir bi al-ra’yi,
berbeda dengan tafsir bi al-matsur yang menafsirkan al-Qur’an dengan
nash-nash penguat yang lain baik al-Qur’an dengan al-Qur’an ataupun al-Qur’an
dengan hadis dst.
Referensi
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta:
LKIS, 2010
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an Yogyakarta:
Ponpest LSQ Ar-Rahmah, 2012
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an tej.
Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia, 2008.
Fahruddin
al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Maktabah al-Syamilah.
Zamakhsyari,
al-Kasyaaf, Maktabah al-Syamilah.
Adz-Dzahabi, tafsir
wal mufassirun.
DR. Husein
Aziz, MA. Bahasa al-Qur’an Perspektif Filsafat Ilmu. .
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Karim li Ibni al-Katsir. Beirut:
Maktabah al-Aulad as-Syaikh li At-Turats.
Quraish Shihab, Fatwa-fatwa Seputar Al-Qur’an dan Hadis. Bandung:
Penerbit Mizan, 2000.
[1]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS,
2010), hlm. 24
[2]
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an (Ypgyakarta: Ponpest
LSQ Ar-Rahmah, 2012), hlm. 131-132
[3]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS,
2010), hlm. 21
[4] Ibid…,
hlm 22
[5]
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an tej. Aunur
Rafiq El-Mazni, Lc. MA. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), hlm. 440-441
[6]
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah tafsir al-Qur’an, hlm. 131
[10]
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, hlm. 479-480
[17]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Karim li Ibni al-Katsir (Beirut:
Maktabah al-Aulad as-Syaikh li At-Turats), hlm. 115
[19]
Quraish Shihab, Fatwa-fatwa Seputar Al-Qur’an dan Hadis (Bandung:
Penerbit Mizan, 2000), hlm. xvii
[20]
Abdul Mustaqim, Dinamika…, hlm. viii
0 komentar:
Posting Komentar